PRESTASI RACKET GEMILANG
tulisan berjalan
Sabtu, Februari 02, 2013
Tan Joe Hok, Perintis di Pentas Bulu Tangkis.Terasing di Negeri Sendiri
TAN Joe Hok menorehkan sejarah setengah abad lalu. Ia pemain bulu
tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali
emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain—Ferry Sonneville,
Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim
Bie—Tan juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air.
Kini 72 tahun usianya. Berpuluh tahun menggantungkan raket, Tan berjuang
di lapangan yang lain: merobohkan tembok diskriminasi yang membuatnya
merasa dipinggirkan sekaligus dilupakan.Di tengah prestasi yang
kerontang kini, bulu tangkis Indonesia perlu menengok kembali cerita
Tan. Kepada Tempo, ia menuturkan kisah hidupnya yang berwarna. SAYA
dilahirkan di zaman yang salah. Tak seperti di zaman kini yang serba
tersedia, saya mulai menekuni bulu tangkis pada kondisi yang serba
terbatas. Saya tak punya raket, lapangan bulu tangkis bersemen tak ada,
untuk berlatih di klub pun harus menempuh jarak yang jauh menggunakan
sepeda.. Dan ketika pertama kali ditunjuk sebagai salah satu anggota tim
Piala Thomas, saya berangkat ke lapangan udara Kemayoran menggunakan
becak.Ini cerita seorang Tan Joe Hok. Mungkin orang hanya tahu saya
orang pertama yang menjuarai All England, pada 1959, dan meraih medali
emas Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga
merebut Piala Thomas untuk pertama kali, pada 1958. Nama saya pun diulas
panjang-lebar di majalah Sport Illustrated—majalah olahraga bergengsi
di Amerika—ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut sebagai pemain tak
terkalahkan. Namun, di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput
liar yang mesti hidup di segala keadaan.Saya lahir di zaman malaise yang
waktu itu baru berakhir. Tepatnya pada 11 Agustus 1937. Saya anak kedua
dari enam bersaudara. Ayah saya, Tan Tay Ping (almarhum), bekerja
sebagai pedagang tekstil yang harus sering meninggalkan keluarga untuk
mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga kami kekurangan. Untuk membeli
beras, kami harus antre. Sejak berumur lima tahun, saya sudah terbiasa
antre beras sendirian.Ketika umur saya menginjak enam tahun, pasukan
Jepang belum lama masuk Indonesia. Saya masih ingat bagaimana
pesawat-pesawat Jepang yang berseliweran di atas kampung kami di
Jatiroke, Jatinangor, Sumedang, ditembaki tentara Belanda. Kedatangan
Jepang itu membuat hidup kami makin susah. Berkali-kali kami harus
mengungsi.Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota
Bandung. Di kota itu awalnya kami tinggal di Gang Kote. Di sanalah
awalnya saya mengenal bulu tangkis. Saya sering melihat ibu saya, Khoe
Hong Nio, bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan
di Gang Sutur, tak jauh dari gang rumah saya.Ketika peristiwa Bandung
Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami harus mengungsi lagi karena
perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami mendiami sebuah rumah di
Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung. Sebuah rumah amat sederhana
berpekarangan luas. Di pekarangan itulah ayah saya membuat lapangan bulu
tangkis sederhana, lapangan berdasar tanah dengan garis terbuat dari
bambu.Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam,
keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.. Saya,
yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi
membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain
bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket.. Sebagai
pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya.
Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering
mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama.Ternyata
banyak yang memuji kemampuan saya bermain bulu tangkis.. Mereka
mengatakan gerakan kaki dan tangan saya cepat sekali. Orang yang sudah
bermain puluhan tahun pun gampang saya kalahkan. Saya tak mengerti
teknik. Tapi, soal gerakan kaki, saya belajar dari pertandingan tinju
yang sering saya saksikan di Bandung. Saya sangat terkesan dengan gerak
kaki petinju itu. Lalu saya meniru dengan latihan skipping. Sebagai
rumput liar, saya yakin, saya pasti bisa bermain bulu tangkis.Suatu hari
Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung, memuji bakat saya. Dia
mengajak saya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di Bandung.
Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan
menghasilkan pemain hebat, seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena,
dan Ivanna Lie. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan
berlatih saban hari. Saya berlatih sejak pukul lima pagi.Dari Jalan
Ksatrian, kami pindah ke Jalan Gedung Sembilan, Pasir Kaliki. Di sana
tidak ada lapangan bulu tangkis. Saya harus berlatih di lapangan bulu
tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong, sekitar lima kilometer dari
rumah saya. Meskipun bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya cukup
bagus karena sudah dipoles semen.Salah satu teman latihan saya di PB
Pusaka adalah Tutang Djamaluddin. Setiap akan berlatih bulu tangkis,
saya dan Tutang naik sepeda ontel dari rumah masing-masing sambil
memegangi raket tak bersarung dan tiga kok yang dibungkus kertas koran.
Dari sinilah karier saya sebagai pemain bulu tangkis terus melesat.
Berkali-kali saya ikut kejuaraan dan selalu menang. Saat 15 tahun, saya
menang di Kejuaraan Bandung.Selanjutnya, saya mulai mengikuti kejuaraan
nasional. Dua tahun kemudian, pada 1954, saya jadi juara Indonesia,
mengalahkan Njoo Kim Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu
sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun
berikutnya, giliran pemain terkenal Eddy Jusuf yang saya kalahkan. Saya
juga diundang mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi,
Calcutta, Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957. Saya selalu menang.Dan yang
paling tak terlupakan adalah ketika saya, Olich Solihin, Lie Po Djian,
Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama Indonesia
untuk merebut Piala Thomas 1958. Kebahagiaan saya makin berlipat ketika
akhirnya kami berhasil memboyong piala bergengsi itu. Kemenangan pertama
tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah dengan tabuhan beduk di
masjid, dentingan lonceng di gereja, serta disiarkan di radio. Kami
juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat Puncak. Jalan saya sebagai
pemain bulu tangkis kian mulus.*l l l*Ketika menjalani tur ke beberapa
kota di India, saya bertemu dengan Ismail bin Mardjan, salah seorang
juara ganda All England asal Malaya yang tinggal di Singapura. Ismail
tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tapi sudah saya anggap
sebagai kakak. Kami berkeliling India lebih dari setengah bulan. Ismail
memberi saya nasihat: ”Joe Hok, kamu bisa jadi pemain nomor satu di
dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu sudah juara, sebaiknya
berhenti. Jangan hidup seperti saya.” Saya tak pernah lupa kata-kata
itu.Ketika saya singgah di kediaman Ismail di Singapura, saya menemukan
jawaban mengapa Ismail tak mau nasib saya seperti dia. Ismail ternyata
hidup dalam kemiskinan. Rumahnya terletak di perkampungan kumuh di dekat
kali yang hitam dan berbau. Maklum, Singapura kala itu belum seperti
sekarang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai anggota satpam.
Melihat kondisi Ismail, saya langsung bertekad tak mau jadi pemain bulu
tangkis selamanya. Saya ingin hidup lebih layak.Setelah berturut-turut
meraih kemenangan di kejuaraan All England, Kanada, dan Amerika Serikat,
saya memutuskan menggantung raket. Saya tak kembali ke Tanah Air, tapi
langsung menuju Texas, Amerika. Saya mendapat beasiswa untuk kuliah di
Baylor University, jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology.
Untuk biaya hidup sehari-hari, saya bekerja serabutan. Apa saja saya
kerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih kampus yang dibayar satu
jam 50 sen dolar. Saya bekerja delapan jam agar bisa menyambung hidup.
Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau menjalani pekerjaan
itu demi selesainya studi saya. Saya tak ingin nasib saya seperti
Ismail.Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa
diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), saya masih sempat
pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Jakarta pada 1961 dan di
Tokyo pada 1964.. Bahkan, pada 1962, saya juga pulang untuk Asian Games
dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena
Asian Games.Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan
niat kembali ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno
mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”. Saya
malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai Mempawah, menghibur
sukarelawan kita di medan perang. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya
memilih mengabdi untuk negara saya, Indonesia.Peristiwa Gerakan 30
September mengubah segalanya. Sebagai warga keturunan, saya dan
teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. Kami seperti dianggap
bukan bagian dari bangsa ini. Saya bahkan harus mengubah nama saya
menjadi Hendra Kartanegara. Saya yang dulu dijunjung tinggi setinggi
langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre berjam-jam membaur
dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat surat bukti bahwa saya
orang Indonesia.Namun saya tak mau larut dalam dendam. Pada 1969,
bersama istri dan dua anak, saya meninggalkan Indonesia untuk menjadi
pelatih bulu tangkis di Meksiko dan Hong Kong. Saya kembali ke Jakarta
pada 1972 dan mendirikan usaha di bidang pest control, jasa pengendalian
hama.Toh, panggilan untuk bergelut di bulu tangkis tak pernah hilang.
Bersama Tahir Djide, saya menjadi pelatih pelatnas tim Piala Thomas
1984Di final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, tim
Indonesia, yang terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk
Sugiarto, Christian Hadinata, Hadibowo, dan Kartono, akhirnya sukses
mengalahkan Han Jian dan kawan-kawan dari Cina.Sekarang prestasi
Indonesia benar-benar memprihatinkan. Saya tidak menyalahkan atlet.
Banyak hal yang harus dibenahi. Dulu kami bermain hanya demi kepentingan
nasional, tak memikirkan masalah materi. Yang penting bisa membawa nama
harum negara. Tapi zaman sudah berubah. Kesejahteraan atlet harus
diperhatikan.Kini kita kalah oleh Cina. Mereka memiliki sistem pembinaan
yang baku. Kesejahteraan atlet benar-benar diperhatikan sehingga orang
tua berbondong-bondong ingin anaknya jadi atlet. Atlet yang sudah tak
aktif juga disekolahkan oleh pemerintah. Tidak seperti di Indonesia:
setelah tak lagi berprestasi, tak diperhatikan. Banyak yang menjalani
hari tua susah dan sakit-sakitan.Saya ingin atlet bulu tangkis memiliki
sponsor pribadi. Misalnya dia jadi bintang iklan, maka kontrak iklan itu
seluruhnzya buat dia, bukan dibagi-bagi dengan alasan untuk pembinaan.
Dulu hal ini dilaksanakan betul. Liem Swie King mengalaminya. Ini memicu
para atlet menjadi yang terbaik. Atlet mendapat penghargaan sesuai
dengan prestasi yang diraihnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagaimana pendapat kalian ?