Bulutangkis.com
- Tak banyak pecinta bulutangkis jaman sekarang yang tahu mengenai
sosok seorang Tati Sumirah. Ya dia adalah salah seorang pahlawan tim
Uber Cup Indonesia pada tahun 1975, yang ketika itu menjadi tunggal
kedua setelah Minarni (Alm). Pada saat itu pulalah Indonesia pertama
kali memboyong piala Uber yang digelar di Indonesia (Istora Senayan,
Jakarta).
Pada tanggal 10 November 2012 lalu, tepat pada hari pahlawan, kami
berkesempatan mengunjungi kediaman Tati Sumirah (yang akrab kami sapa
dengan Bu Tati) di kawasan Waru Doyong, Buaran, Jakarta Timur. Sempat
mengalami sedikit kesulitan karena ternyata alamat yang kami miliki
terdapat sedikit kekeliruan, namun hal tersebut tidak menghalangi niat
kami untuk terus mencari rumah Bu Tati. Setiap orang yang kami temui
terus kami tanyai mengenai alamat tersebut. Bahkan kami langsung
menyebut nama Bu Tati, namun tak banyak juga warga yang tahu mengenai
Tati Sumirah. Akhirnya kami bertanya ke rumah Pak RT setempat dan
ditunjukkan jalan oleh Bu RT. Hati lega rasanya ketika kami berhasil
menemukan rumah Bu Tati, rasa capek dan teriknya sinar matahari yang
membakar tubuh kami rasanya terbayarkan.
Sesampai di rumah Tati Sumirah yang cukup sederhana, kami disapa
dengan hangat oleh Bu Tati. Tak ada rasa canggung sedikit pun dari
beliau untuk berbagi cerita dengan kami yang baru ia kenal. Beliaupun
menyuguhkan kami minuman.
Menurut Tati Sumirah, ia bukanlah sosok yang pandai berbicara di
depan publik, oleh sebab itu sebelum kami membuat janji untuk bekunjung
ke rumahnya ia sempat bertanya apakah kami adalah wartawan. Pernah juga
dia diundang oleh suatu acara Kampus sebuah perguruan tinggi di Jakarta
untuk berbagi pengalaman tentang masa kejayaannya namun ia menolak
karena dia tidak pandai berbicara kecuali jika ada yang “mancing”.
“Kalo ibu bisa ngomong mungkin gak perlu seperti sekarang, mungkin
ibu bisa duduk di PBSI seperti teman-teman lainnya,” ungkapnya. Tampak
ada sedikit penyesalan di raut wajahnya.
Tati Sumirah masih hidup lajang sampai sekarang, “Ibu gak pandai
ngomong, mungkin itu kali makanya ibu belum berkeluarga,” ungkapnya
dengan muka tersenyum. Tati Sumirah tinggal di rumah milik orang tuanya
bersama dengan ibunya yang kondisi kesehatannya sudah mulai lemah, serta
adik dan keponakan-keponkannya. Rumah yang Ia tempati sekarang sudah
berumur 20-an tahun.
Ketika kami menanyakan kepadanya bagaimana awalnya ia bisa menyukai
bulutangkis, ia pun bercerita bahwa ketika dia masih SD, dia kenal
dengan orang Amerika yang membangun jalan by pass. Ketika ia bermain ke
rumah orang Amerika tersebut, ia mendapatkan sebuah majalah yang
tergeletak di atas meja yang isinya mengenai liputan bulutangkis, dan
orang Amerika tersebut pun bercerita sedikit mengenai bulutangkis yang
pada saat itu sangat populer di Amerika. Dari situlah Tati kecil mulai
tertarik dengan bulutangkis dan sedikit didorong oleh Ayahnya yang
ternyata adalah seorang atlit tinju. Oleh ayahnya, halaman rumah yang
dulu berada di daerah Rawamangun dibuatkan sebuah lapangan kecil yang
dasarnya masih tanah, dan digaris dengan menggunakan kapur tulis. Jika
bermain pada malam hari, Tati kecil dan warga setempat harus menggunakan
4 buah lampu petromaks sebagai penerang.
Tati Sumirah pun mulai mengikuti kejuaraan-kejuaraan antar daerah,
pernah suatu hari juara mewakili Jakarta, dari situ lah nama Tati mulai
diperhitungkan. Tati Sumirah pun masuk ke PB Tangkas pada umur sekitar
14-15 tahun.
Pengorbanan Tati Sumirah pada pendidikannya patut kita beri
“standing applause” karena pada SMP kelas 3, ia bercerita kalau ia tidak
lulus SMP karena harus mengikuti PON mewakili DKI Jakarta.
Sekitarumur 20-21 tahun, Ia pun dipanggil masuk ke Pelatnas. Bu Tati
pun bercerita sedikit mengenai latihan di Pelatnas jaman dulu. Pelatnas
dulu berada di Senayan, yang sekarang menjadi Hotel AtletCentury. Pukul
04.30 pagi ia dan teman-temannya sudah harus bangun, dan pukul 06.00
pagi harus menjalani latihan fisik dengan berlari mengitari lapangan
sepak bola Gelora Bung Karno (GBK) dengan pola 8 kali putaran pemanasan,
dan dilanjutkan 30 kali putaran untuk atlit putri, serta 40 putaran
bagi atlit putra.
Untuk pengiriman pemain ke sebuah turnamen, tidak sembarangan. Para
pemain dari Pelatnas maupun Pelatda diseleksi terlebih dahulu, yang
terpilih adalah juara seleksi 1 sampai dengan 3. Baru kemudian di
berangkatkan untuk turnamen. Salah satu contoh pada masa itu adalah
ketiga pemain tersebut didaftarkan sekaligus untuk 3 turnamen yaitu
Belanda Terbuka, All England,dan Denmark Terbuka. Berbeda dengan
sekarang, dimana atlit yang dikirim adalah atlit-atlit penghuni Pelatnas
yang sudah “dijatah” atau atlit-atlit profesional yang dibiayai oleh
klub masing-masing.
Ditanya mengenai “musuh” nya, Bu Tati menjawab Margaret Beck asal
Inggris. Tati Sumirah gagal menjuarai Kejuaraan Invitasi Dunia pada
tahun 1974 setelah di final dikalahkan Margaret Beck asal Inggris.
Selain Margaret, pemain Jepang dan Denmark juga merupakan lawan yang
cukup berat pada masa itu.
pertandingan paling berkesan menurut Bu Tati adalah pada Asian Games
VII di Teheran, Iran. Pada saat itu tim beregu putri Indonesia hanya
ditargetkan untuk juara 3, namun tim Indonesia berhasil mengalahkan tim
Jepang di Semifinal, dan Tati Sumirah sendiri merupakan salah satu
pemain yang berhasil menyumbangkan poin bagi tim Indonesia.
“Wah senangnya minta ampun pas menang, saya langsung lari ke ruang
atlit loncatin pembatas untuk kasih tau temen-temen kalo saya menang,”
ungkap Bu Tati. Namun, Indonesia gagal di Final dan dikalahkan oleh
China. Kala itu, Tati Sumirah diturunkan di tunggal dan dikalahkan oleh
Liang Qiuxia.
Kemudian kami pun lanjut bertanya mengenai motivasi menjuarai sebuah
turnamen apakah karena hadiah Prize Money? Dia langsung tersenyum lebar
karena pada masa itu juara tidak mendapatkan prize money, hanya uang
saku dari PBSI dan sebuah piala. “Gak kepikiran duit, yang penting
kita menang, rebut medali, lihat bendera Indonesia dan denger Indonesia
Raya berkumandang, kita pulang dengan bangga,” ungkapnya.
Tati Sumirah sudah banyak mengikuti turnamen-turnamen di hampir
seluruh belahan dunia, mulai dari Asia, Eropa, hingga Australia sudah
diikutinya. “Jaman Ibu dulu nggak ada yang namanya Sirnas, makanya Ibu
udah pernah keliling dunia tapi belum pernah ke Bali, hehe..” tuturnya
dengan gaya khas sederhananya.
“Ibu asyik donk keliling dunia bisa jalan-jalan?” canda kami.
Bagi dia pertandingan ke luar negeri bukanlah untuk jalan-jalan,
melainkan untuk bertanding membawa nama bangsa. “Jalan-jalan jarang sih,
kalau mau jalan-jalan harus kalah dulu baru bisa jalan, kalau nggak
kalah nggak bisa jalan. Tapi ibu jarang sih, paling tersisa satu hari,
besokannya udah harus pulang lagi”. Mengenai jalan-jalan dan kalah, Bu
Tati mengungkapkan bahwa ia paling cepat ‘angkat koper’ adalah pada
babak 4 (quarterfinal). Sungguh pengalaman yang sangat berbeda jika
dibandingkan dengan era sekarang, dimana pemain tunggal putri banyak
yang sudah ‘rontok’ pada babak-babak awal. Sampai Ia berhenti dari
bulutangkis, rupanya pada masa itu belum ada sistem Ranking BWF. Jadi,
penentuan unggulan suatu turnamen berdasarkan hasil pencapaian di
beberapa turnamen sebelumnya.
Pada tahun 1981, Tati Sumirah yang pada saat itu baru berusia 28
tahun menyatakan “gantung raket”. Hal ini terjadi karena begitu ketatnya
persaingan di Pelatnas. Tati Sumirah sudah mampu dikejar oleh junior di
bawahnya seperti Verawaty dan Ivana Lie. Tati Sumirah sudah kurang
berprestasi pada masa itu, oleh sebab itu ia sendiri yang menyatakan
pensiun dari bulutangkis yang pernah membesarkan namanya. Setelah keluar
dari Pelatnas, Tati Sumirah bekerja paruh waktu selama 2 tahun di
sebuah apotik sebagai kasir. “Yang punya apotik seneng sama bulutangkis,
makanya mau nerima Ibu, padahal ibu nggak bisa apa-apa”, kenangnya.
Baru 2 tahun setelah itu, Tati Sumirah bekerja secara full time di
apotik tersebut selama 20 tahun hingga tahun 2005 dengan gaji yang
kadang tidak mencukupi kebutuhannya.
Tahun 2006, Tati Sumirah mencoba melatih di sebuah klub bulutangkis
kecil di wilayah Pekayon, Bekasi selama satu tahun. Kemudian pada Tahun
2007, Tati Sumirah diundang oleh sebuah acara talk show di Metro TV,
Kick Andy yang bertemakan Simpati kepada mantan atlit. Setelah melihat
tayangan dari talk show tersebut, Rudy Hartono yang juga mantan atlit
dan pengusaha mengajak Tati Sumirah untuk bekerja di perusahaan oli Top 1
miliknya di bagian administrasi hingga saat ini. Setiap harinya, Bu
Tati berangkat ke tempat kerjanya dengan mengendarai sepeda motor hasil
jerih payahnya sendiri. Meski sudah berusia 60 tahun, Bu Tati masih kuat
mengendarai sepeda motor setiap hari dari kediamannya di daerah Klender
menuju Kemayoran. Ia berangkat pukul 7 pagi, dan baru tiba di rumah
sekitar pukul 19.30 malam setiap harinya.
Cerita mengenai sepeda motornya, dulu Bu Tati menggunakan motor
Vespa yang didapat dari bonus uang dari PBSI atas keberhasilannya dan
teman-temannya merebut piala Uber pertama kali pada tahun 1975. Dari
hasil uang bonus tersebut, dibelikan sebuah sepeda motor Vespa.
Kemudian setelah ia bekerja di perusahaan milik Rudy Hartono dengan
penghasilan yang mendingan, Vespa tersebut ditukar tambah dengan sepeda
motor yang lebih baik.
Sambil mendengar kisahnya, kami pun sambil melihat beberapa piala,
medali, serta beberapa penghargaan dari Pemerintah yang terpampang di
lemarinya yang sudah mulai usang. Belum lama ini, Bu Tati mendapat
jaminan asuransi dari MNC Sport. Pernah juga ia menerima sejumlah uang
dari Menpora atas jasanya berupa uang untuk dibelikan sebuah rumah dan
untuk usaha, namun oleh Bu Tati hanya cukup digunakan untuk mengurus
sertifikat rumah yang ia diami sekarang. Melihat ada sedikit keganjalan
karena tidak terlihat selembar pun foto ketika Ia masih menjadi atlit,
kami pun bertanya apakah ada foto kenang-kenangan ketika ia bermain
bulutangkis, ia pun menjawab bahwa tidak ada foto, namun hanya ada satu
foto ketika Ia menerima penghargaan Bintang Satu dari mantan presiden
Soeharto, namun sayang sekali foto tersebut pun sudah tidak ada karena
dipinjam oleh salah seorang wartawan dan tidak dikembalikan hingga kini.
Saat ini, Tati Sumirah sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan
bulutangkis. Ia tidak begitu tahu mengenai penerus-penerusnya seperti
Adrianti Firdasari, Maria Febe, dan lain-lain. Ia hanya tahu nama-nama
seperti Taufik Hidayat, Tommy Sugiarto, dan beberapa nama lainnya.
Namun, pada perhelatan Thomas-Uber Cup yang lalu, Ia mengaku sempat
nonton dan merasa “gregetan” karena baik Tim Thomas maupun Tim Uber,
keduanya kalah dari Jepang pada babak quarter final.
“Harusnya pemain dan pelatih itu punya satu hati, baru mainnya bisa
enak,” katanya. Kala itu ia mengajak warga di sekitaran rumahnya untuk
menonton siaran Thomas-Uber dan memberikan dukungan kepada tim Merah
Putih di depan rumahnya dengan mengangkat sebuah TV ke teras rumahnya.
Sebagai seorang mantan pemain bulutangkis, pasti ada rasa rindu
untuk berlaga di karpet hijau. Untuk mengusir rasa ridunya tersebut, Bu
Tati biasanya bermain dengan bapak-bapak di kantor. “Ibu biasanya main
sama bapak-bapak dua lawan satu, bapak-bapak seneng main sama ibu,
soalnya ibu suka buat bapak-bapak lari pontang-panting,” akunya.
Di akhir silaturahmi kami, kami pun mengajak jika suatu hari nanti
Bu Tati dapat Mabar (Main Bareng) bersama kami. Beliau pun mengiyakan
ajakan kami, katanya ia mau melihat permainan kami. Sungguh pengalaman
yang luar biasa bagi kami bisa mendengar langsung kisah pahlawan Uber
Cup 1975.
Terima kasih Bu Tati untuk waktunya, semoga kita dapat berjumpa lagi dilain kesempatan. (Septiani Lay – Buldoc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagaimana pendapat kalian ?