tulisan berjalan

SELAMAT DATANG di akun media sosial racketbadminton.blogspot.co.id

Jumat, November 23, 2012

Tati Sumirah: “Nggak kepikiran duit, yang penting kita menang”

Bulutangkis.com - Tak banyak pecinta bulutangkis jaman sekarang yang tahu mengenai sosok seorang Tati Sumirah. Ya dia adalah salah seorang pahlawan tim Uber Cup Indonesia pada tahun 1975, yang ketika itu menjadi tunggal kedua setelah Minarni (Alm). Pada saat itu pulalah Indonesia pertama kali memboyong piala Uber yang digelar di Indonesia (Istora Senayan, Jakarta).

Pada tanggal 10 November 2012 lalu, tepat pada hari pahlawan, kami berkesempatan mengunjungi kediaman Tati Sumirah (yang akrab kami sapa dengan Bu Tati) di kawasan Waru Doyong, Buaran, Jakarta Timur. Sempat mengalami sedikit kesulitan karena ternyata alamat yang kami miliki terdapat sedikit kekeliruan, namun hal tersebut tidak menghalangi niat kami untuk terus mencari rumah Bu Tati. Setiap orang yang kami temui terus kami tanyai mengenai alamat tersebut. Bahkan kami langsung menyebut nama Bu Tati, namun tak banyak juga warga yang tahu mengenai Tati Sumirah. Akhirnya kami bertanya ke rumah Pak RT setempat dan ditunjukkan jalan oleh Bu RT. Hati lega rasanya ketika kami berhasil menemukan rumah Bu Tati, rasa capek dan teriknya sinar matahari yang membakar tubuh kami rasanya terbayarkan.

Sesampai di rumah Tati Sumirah yang cukup sederhana, kami disapa dengan hangat oleh Bu Tati. Tak ada rasa canggung sedikit pun dari beliau untuk berbagi cerita dengan kami yang baru ia kenal. Beliaupun menyuguhkan kami minuman.

Menurut Tati Sumirah, ia bukanlah sosok yang pandai berbicara di depan publik, oleh sebab itu sebelum kami membuat janji untuk bekunjung ke rumahnya ia sempat bertanya apakah kami adalah wartawan. Pernah juga dia diundang oleh suatu acara Kampus sebuah perguruan tinggi di Jakarta untuk berbagi pengalaman tentang masa kejayaannya namun ia menolak karena dia tidak pandai berbicara kecuali jika ada yang “mancing”.

“Kalo ibu bisa ngomong mungkin gak perlu seperti sekarang, mungkin ibu bisa duduk di PBSI seperti teman-teman lainnya,” ungkapnya. Tampak ada sedikit penyesalan di raut wajahnya.

Tati Sumirah masih hidup lajang sampai sekarang, “Ibu gak pandai ngomong, mungkin itu kali makanya ibu belum berkeluarga,” ungkapnya dengan muka tersenyum. Tati Sumirah tinggal di rumah milik orang tuanya bersama dengan ibunya yang kondisi kesehatannya sudah mulai lemah, serta adik dan keponakan-keponkannya. Rumah yang Ia tempati sekarang sudah berumur 20-an tahun.
Ketika kami menanyakan kepadanya bagaimana awalnya ia bisa menyukai bulutangkis, ia pun bercerita bahwa ketika dia masih SD, dia kenal dengan orang Amerika yang membangun jalan by pass. Ketika ia bermain ke rumah orang Amerika tersebut, ia mendapatkan sebuah majalah yang tergeletak di atas meja yang isinya mengenai liputan bulutangkis, dan orang Amerika tersebut pun bercerita sedikit mengenai bulutangkis yang pada saat itu sangat populer di Amerika. Dari situlah Tati kecil mulai tertarik dengan bulutangkis dan sedikit didorong oleh Ayahnya yang ternyata adalah seorang atlit tinju. Oleh ayahnya, halaman rumah yang dulu berada di daerah Rawamangun dibuatkan sebuah lapangan kecil yang dasarnya masih tanah, dan digaris dengan menggunakan kapur tulis. Jika bermain pada malam hari, Tati kecil dan warga setempat harus menggunakan 4 buah lampu petromaks sebagai penerang.

Tati Sumirah pun mulai mengikuti kejuaraan-kejuaraan antar daerah, pernah suatu hari juara mewakili Jakarta, dari situ lah nama Tati mulai diperhitungkan. Tati Sumirah pun masuk ke PB Tangkas pada umur sekitar 14-15 tahun.

Pengorbanan Tati Sumirah pada pendidikannya patut kita beri “standing applause” karena pada SMP kelas 3, ia bercerita kalau ia tidak lulus SMP karena harus mengikuti PON mewakili DKI Jakarta.

Sekitarumur 20-21 tahun, Ia pun dipanggil masuk ke Pelatnas. Bu Tati pun bercerita sedikit mengenai latihan di Pelatnas jaman dulu. Pelatnas dulu berada di Senayan, yang sekarang menjadi Hotel AtletCentury. Pukul 04.30 pagi ia dan teman-temannya sudah harus bangun, dan pukul 06.00 pagi harus menjalani latihan fisik dengan berlari mengitari lapangan sepak bola Gelora Bung Karno (GBK) dengan pola 8 kali putaran pemanasan, dan dilanjutkan 30 kali putaran untuk atlit putri, serta 40 putaran bagi atlit putra.

Untuk pengiriman pemain ke sebuah turnamen, tidak sembarangan. Para pemain dari Pelatnas maupun Pelatda diseleksi terlebih dahulu, yang terpilih adalah juara seleksi 1 sampai dengan 3. Baru kemudian di berangkatkan untuk turnamen. Salah satu contoh pada masa itu adalah ketiga pemain tersebut didaftarkan sekaligus untuk 3 turnamen yaitu Belanda Terbuka, All England,dan Denmark Terbuka. Berbeda dengan sekarang, dimana atlit yang dikirim adalah atlit-atlit penghuni Pelatnas yang sudah “dijatah” atau atlit-atlit profesional yang dibiayai oleh klub masing-masing.

Ditanya mengenai “musuh” nya, Bu Tati menjawab Margaret Beck asal Inggris. Tati Sumirah gagal menjuarai Kejuaraan Invitasi Dunia pada tahun 1974 setelah di final dikalahkan Margaret Beck asal Inggris. Selain Margaret, pemain Jepang dan Denmark juga merupakan lawan yang cukup berat pada masa itu.
pertandingan paling berkesan menurut Bu Tati adalah pada Asian Games VII di Teheran, Iran. Pada saat itu tim beregu putri Indonesia hanya ditargetkan untuk juara 3, namun tim Indonesia berhasil mengalahkan tim Jepang di Semifinal, dan Tati Sumirah sendiri merupakan salah satu pemain yang berhasil menyumbangkan poin bagi tim Indonesia.

“Wah senangnya minta ampun pas menang, saya langsung lari ke ruang atlit loncatin pembatas untuk kasih tau temen-temen kalo saya menang,” ungkap Bu Tati. Namun, Indonesia gagal di Final dan dikalahkan oleh China. Kala itu, Tati Sumirah diturunkan di tunggal dan dikalahkan oleh Liang Qiuxia.

Kemudian kami pun lanjut bertanya mengenai motivasi menjuarai sebuah turnamen apakah karena hadiah Prize Money? Dia langsung tersenyum lebar karena pada masa itu juara tidak mendapatkan prize money, hanya uang saku dari PBSI dan sebuah piala. “Gak kepikiran duit, yang penting kita menang, rebut medali, lihat bendera Indonesia dan denger Indonesia Raya berkumandang, kita pulang dengan bangga,” ungkapnya.

Tati Sumirah sudah banyak mengikuti turnamen-turnamen di hampir seluruh belahan dunia, mulai dari Asia, Eropa, hingga Australia sudah diikutinya. “Jaman Ibu dulu nggak ada yang namanya Sirnas, makanya Ibu udah pernah keliling dunia tapi belum pernah ke Bali, hehe..” tuturnya dengan gaya khas sederhananya.

“Ibu asyik donk keliling dunia bisa jalan-jalan?” canda kami.

Bagi dia pertandingan ke luar negeri bukanlah untuk jalan-jalan, melainkan untuk bertanding membawa nama bangsa. “Jalan-jalan jarang sih, kalau mau jalan-jalan harus kalah dulu baru bisa jalan, kalau nggak kalah nggak bisa jalan. Tapi ibu jarang sih, paling tersisa satu hari, besokannya udah harus pulang lagi”. Mengenai jalan-jalan dan kalah, Bu Tati mengungkapkan bahwa ia paling cepat ‘angkat koper’ adalah pada babak 4 (quarterfinal). Sungguh pengalaman yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan era sekarang, dimana pemain tunggal putri banyak yang sudah ‘rontok’ pada babak-babak awal. Sampai Ia berhenti dari bulutangkis, rupanya pada masa itu belum ada sistem Ranking BWF. Jadi, penentuan unggulan suatu turnamen berdasarkan hasil pencapaian di beberapa turnamen sebelumnya.


Pada tahun 1981, Tati Sumirah yang pada saat itu baru berusia 28 tahun menyatakan “gantung raket”. Hal ini terjadi karena begitu ketatnya persaingan di Pelatnas. Tati Sumirah sudah mampu dikejar oleh junior di bawahnya seperti Verawaty dan Ivana Lie. Tati Sumirah sudah kurang berprestasi pada masa itu, oleh sebab itu ia sendiri yang menyatakan pensiun dari bulutangkis yang pernah membesarkan namanya. Setelah keluar dari Pelatnas, Tati Sumirah bekerja paruh waktu selama 2 tahun di sebuah apotik sebagai kasir. “Yang punya apotik seneng sama bulutangkis, makanya mau nerima Ibu, padahal ibu nggak bisa apa-apa”, kenangnya. Baru 2 tahun setelah itu, Tati Sumirah bekerja secara full time di apotik tersebut selama 20 tahun hingga tahun 2005 dengan gaji yang kadang tidak mencukupi kebutuhannya.

Tahun 2006, Tati Sumirah mencoba melatih di sebuah klub bulutangkis kecil di wilayah Pekayon, Bekasi selama satu tahun. Kemudian pada Tahun 2007, Tati Sumirah diundang oleh sebuah acara talk show di Metro TV, Kick Andy yang bertemakan Simpati kepada mantan atlit. Setelah melihat tayangan dari talk show tersebut, Rudy Hartono yang juga mantan atlit dan pengusaha mengajak Tati Sumirah untuk bekerja di perusahaan oli Top 1 miliknya di bagian administrasi hingga saat ini. Setiap harinya, Bu Tati berangkat ke tempat kerjanya dengan mengendarai sepeda motor hasil jerih payahnya sendiri. Meski sudah berusia 60 tahun, Bu Tati masih kuat mengendarai sepeda motor setiap hari dari kediamannya di daerah Klender menuju Kemayoran. Ia berangkat pukul 7 pagi, dan baru tiba di rumah sekitar pukul 19.30 malam setiap harinya.

Cerita mengenai sepeda motornya, dulu Bu Tati menggunakan motor Vespa yang didapat dari bonus uang dari PBSI atas keberhasilannya dan teman-temannya merebut piala Uber pertama kali pada tahun 1975. Dari hasil uang bonus tersebut, dibelikan sebuah sepeda motor Vespa. Kemudian setelah ia bekerja di perusahaan milik Rudy Hartono dengan penghasilan yang mendingan, Vespa tersebut ditukar tambah dengan sepeda motor yang lebih baik.

Sambil mendengar kisahnya, kami pun sambil melihat beberapa piala, medali, serta beberapa penghargaan dari Pemerintah yang terpampang di lemarinya yang sudah mulai usang. Belum lama ini, Bu Tati mendapat jaminan asuransi dari MNC Sport. Pernah juga ia menerima sejumlah uang dari Menpora atas jasanya berupa uang untuk dibelikan sebuah rumah dan untuk usaha, namun oleh Bu Tati hanya cukup digunakan untuk mengurus sertifikat rumah yang ia diami sekarang. Melihat ada sedikit keganjalan karena tidak terlihat selembar pun foto ketika Ia masih menjadi atlit, kami pun bertanya apakah ada foto kenang-kenangan ketika ia bermain bulutangkis, ia pun menjawab bahwa tidak ada foto, namun hanya ada satu foto ketika Ia menerima penghargaan Bintang Satu dari mantan presiden Soeharto, namun sayang sekali foto tersebut pun sudah tidak ada karena dipinjam oleh salah seorang wartawan dan tidak dikembalikan hingga kini.

Saat ini, Tati Sumirah sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan bulutangkis. Ia tidak begitu tahu mengenai penerus-penerusnya seperti Adrianti Firdasari, Maria Febe, dan lain-lain. Ia hanya tahu nama-nama seperti Taufik Hidayat, Tommy Sugiarto, dan beberapa nama lainnya. Namun, pada perhelatan Thomas-Uber Cup yang lalu, Ia mengaku sempat nonton dan merasa “gregetan” karena baik Tim Thomas maupun Tim Uber, keduanya kalah dari Jepang pada babak quarter final.

“Harusnya pemain dan pelatih itu punya satu hati, baru mainnya bisa enak,” katanya. Kala itu ia mengajak warga di sekitaran rumahnya untuk menonton siaran Thomas-Uber dan memberikan dukungan kepada tim Merah Putih di depan rumahnya dengan mengangkat sebuah TV ke teras rumahnya.

Sebagai seorang mantan pemain bulutangkis, pasti ada rasa rindu untuk berlaga di karpet hijau. Untuk mengusir rasa ridunya tersebut, Bu Tati biasanya bermain dengan bapak-bapak di kantor. “Ibu biasanya main sama bapak-bapak dua lawan satu, bapak-bapak seneng main sama ibu, soalnya ibu suka buat bapak-bapak lari pontang-panting,” akunya.

Di akhir silaturahmi kami, kami pun mengajak jika suatu hari nanti Bu Tati dapat Mabar (Main Bareng) bersama kami. Beliau pun mengiyakan ajakan kami, katanya ia mau melihat permainan kami. Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi kami bisa mendengar langsung kisah pahlawan Uber Cup 1975.

Terima kasih Bu Tati untuk waktunya, semoga kita dapat berjumpa lagi dilain kesempatan. (Septiani Lay – Buldoc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana pendapat kalian ?