Ambisi Lilyana untuk lebih memacu prestasi, kini dia arahkan sepenuhnya
pada turnamen All England dan Olimpiade 2012 di London. Dia menyebut All
England -- salah-satu turnamen bulutangkis tertua di dunia -- sebagai
impian lama yang dia idamkan.
Karena, saat berpartner dengan Nova, (kami masuk) final sudah dua
kali, semi final sudah dua atau tiga kali, katanya, bersemangat. Masa'
saya nggak bisa juara...
Tapi yang terpenting di depan saya adalah Olimpiade 2012 di London,
tandas Lilyana, yang sejak 2002 terpilih dan bergabung di pelatnas
bulutangkis di Cipayung. Dalam Olimpiade 2008 di Beijing, Lilyana-Nova
Widianto meraih perak, setelah ditaklukan ganda campuran Korsel, Lee
Yongdae-Lee Hyojung.
Keberhasilan senior serta rekan-rekannya meraih emas pada ajang
olahraga terbesar di dunia itu, pada tahun-tahun sebelumnya, juga
menjadi motivasi tersendiri buat Lilyana.
Karena selama ini tradisi emas olimpiade itu selalu dari
bulutangkis, dari jaman Susi Susanti (tunggal putri), (ganda putra) Rexi
Mainaky-Ricky Subagya, (tunggal putra) Taufik Hidayat, dan terakhir
(ganda putra) Markus Kido-Hendra Setiawan, paparnya.
Sejauh ini hanya sektor ganda campuran yang belum menyumbangkan emas olimpiade untuk Indonesia.
Mudah-mudahan dengan motivasi saya yang lebih, dengan terakhir juara
Macau Open 2011, dan saya masuk nominasi (pemain terbaik 2011 versi
Federasi Bulutangkis Dunia), ini tantangan buat saya, untuk tahun ada
olimpiade, kasih medali emas untuk Indonesia.
“Saya merasa, (prestasi saya) nggak dibilang menurun kok,” tegas Butet,
ketika menanyakan sikap sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap
prestasi bulutangkis Indonesia sekarang tidak sebagus para pendahulunya.
“Karena, dulu saya dan Nova, kasih banyak juara,” tandasnya. “(Dan) itu
nggak gampang.”
Bahkan, saat mulai berpasangan dengan Ahmad Tontowi, pasangan ini
sempat masuk rangking dua dunia. “Padahal, saya baru berpasangan
setahun,” tegasnya, seraya menambahkan, raihan prestasi mereka terbilang
luar biasa dalam waktu relatif pendek itu.
Dia kemudian menyebut beberapa turnamen internasional bergengsi yang
mereka taklukkan, belakangan. “Itu satu prestasi yang nggak muda diraih
seorang atlit,” tambahnya lagi.
Lagipula, menurutnya, setiap atlit telah berupaya semaksimal mungkin untuk meraih kemenangan tertinggi. Karena itulah
Meskipun demikian, Lilyana mengaku bahwa pada masanya Indonesia pernah
merajai bulutangkis dunia – sehingga kehadirannya selalu dielu-elukan
masyarakat Indonesia.
Kita tidak pungkiri, senior-senior kita sangat berprestasi. Tapi
sekarang ini, persaingan lebih ketat. Jadi, secara nggak sadar,
(prestasi bulutangkis) sudah merata. Ujar Lilyana
“Sekarang ini, persaingan lebih ketat,” katanya, menganalisa. Dia
mencontohkan, negara Polandia, yang dulu tidak masuk 'peta bulutangkis
dunia', “kini sudah bagus.”
“Jadi, secara nggak sadar, (prestasi bulutangkis) sudah merata,” tambahnya.
Menurut Lilyana, salah-satu faktor yang membuat kekuataan
bulutangkis dunia kini relatif merata adalah: “... pelatih-pelatih kita
(juga Cina dan Korea Selatan) banyak yang ke luar negeri.” Tetapi,
Lilyana menolak jika disebut pebulutangkis nasional Indonesia kini sepi
dari prestasi.
“Sekarang ini mungkin ada yang menonjol, tapi satu atau tiga orang saja,” katanya. “Nggak menyeluruh”
“kenapa pebulutangkis kini Cina sulit dikalahkan... ??????? ”
Jawaban meyakinkan pun muncul dari mulutnya. “Sebenarnya, faktor teknis, skill, Indonesia itu di atas.”
“Tapi,” katanya, melanjutkan, ”Cina itu.. memang mungkin sudah
dibentuk, atau memang faktor dari sananya, Cina itu punya kecepatan yang
sangat cepat dan power yang sangat kuat.” Karena itu, menurutnya,
ketika pemain Indonesia mengedepankan skill, “(kita) kalah cepat, atau
kalah kuat...”
Namun demikian, ia menerangkan, setelah ada perubahan pola penilaian
dan perhitungan skor, faktor tenaga dan kecepatan Cina relatif tidak
lagi dapat ditonjolkan.
“Nah, sekarang game 21, agak merata. Karena, game-nya singkat, dan jika (pemain) sana berbuat salah, kita (dapat) poin kan...”
“Jadi, kita adu skill, masih bisa,” jelasnya. “Tapi, kita harus tetap diimbangi power dan speed-nya.”
Selain keharusan menambah porsi latihan power dan speed, Lilyana
menyebut faktor “mental bertanding” sangat dibutuhkan ketika menghadapi
para pemain Cina. Hal ini dia tekankan, karena mental sebagian pemain
langsung jatuh ketika mengetahui calon lawannya berasal dari negara
tirai bambu.
Butet mengaku, saat yunior dulu, nyalinya menjadi ciut setiap akan
menghadapi pemain-pemain Cina. “Tapi sekarang, mungkin karena
pengalaman, dengan prestasi yang saya dapat, (setiap) saya ketemu Cina,
malah saya harus lebih percaya diri,” katanya, bersemangat.
Selain itu, yang lebih penting lagi, menurutnya, adalah menyiapkan
generasi penerus pebulutangkis Indonesia yang “bisa mendekati (prestasi)
seniornya”. Kehadiran pemain yunior yang mumpuni, lanjut Lilyana,
dibutuhkan saat ini. “(Kehadiran mereka) bisa membantu.Tetapi selama
ini, pemain-pemain yunior itu sudah kalah di tingkat awal.”
Akibatnya, di babak berikutnya, para pemain Cina atau Korsel lebih tampil mendominasi.
“Jadi ibaratnya, (Cina atau Korsel) main kepung. Jadi, kita hari ini
amin-amin bisa ngalahin Cina, besok ketemu Cina lagi. Ya, kita babak
belur. Gitu loh...”
Ketika wawancara menyinggung masa depan atlit olahraga, Lilyana
berulang-ulang meminta agar pemerintah memberikan pensiun seumur hidup
kepada atlit berprestasi. “Seperti di negara-negara maju,” ungkapnya,
terus-terang. “Jadi, atlit (dapat) lebih tenang.”
Sekarang ini, para atlit bulutangkis -- juga barangkali atlit cabang
olahraga lainnya -- dipaksa memikirkan masa depannya setelah
menggantungkan raketnya. Lilyana Natsir meminta pemerintah memikirkan
masa depan atlit, melalui program asuransi setelah mereka pensiun.
“Karena, nggak ada yang peduli dengan kita,” tandasnya.
Dia kemudian mencontohkan dirinya sendiri. “Sekarang banyak (orang)
kenal saya... Setelah saya stop (main) bulutangkis: siapa elo, siapa
kamu, dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Orang nggak peduli...” Lilyana
lantas teringat nasib beberapa bekas atlit yang jatuh miskin, setelah
pensiun dari dunia olahraga.
“Miris melihatnya,” katanya, lirih. “Padahal, dia pernah membawa harum nama Indonesia...”
“Lalu apa yang Anda lakukan bila kelak menggantungkan raket?”
“Saya harus pintar-pintar berinvestasi, pintar-pintar memenej
keuangan saya, untuk masa depan,” kata Yana, panggilan akrabnya – selain
Butet, tentu saja. Dia membayangkan nantinya membuka usaha dari
tabungan miliknya juga membayangkan dirinya bisa menjadi pelatih di
Indonesia atau luar negeri.
“Bulutangkis itu jalan hidup saya,” kata Lilyana, dengan nada tegas
setelah mendapat pertanyaan mengenai pandangan bulutangkis menurut
Lilyana.
Itu dia tekankan, karena dengan menekuni bulutangkis, dia dapat
berinvestasi di dunia properti, membeli mobil, serta dikenal banyak
orang.
“Dan, ada kebanggaan saya bisa mengibarkan bendera Merah-Putih,”
paparnya. Karena itulah, demi menjalani hidup di dunia bulutangkis,
Lilyana kini sepenuhnya berlatih serius dan mencetak prestasi sebanyak
mungkin.
“Yang materi (hadiah atau bonus) itu mengikuti,” katanya, agak berdiplomasi, sekaligus menutup wawancara siang itu.
#Kutipan dari sang srikandi Indonesia, Lilyana natsir#
Hidup itu pilihan. Jadi, kita harus menerima resiko. Kita memilih
olahraga, maka kita harus fokus, harus benar-benar serius, apapun
hasilnya. By,Lilyana Natsir
Hidup itu pilihan. Jadi, kita harus menerima resiko. By,Lilyana Natsir
“kita membutuhkan dukungan masyarakat.” By Lilyana Natsir
“Jangan di atas saja, baru dielu-elukan. Nanti pas jatuh, tambah dijatuhin,” by Lilyana Natsir