tulisan berjalan

SELAMAT DATANG di akun media sosial racketbadminton.blogspot.co.id

Kamis, Desember 13, 2012

lilyana natsir part 1

Menjelang siang, di antara bunyi pukulan raket dan teriakan para pemain pelatnas bulutangkis yang tengah berlatih di Cipayung, Jakarta Timur, Lilyana Natsir baru saja menyudahi latihan fisik.Tangannya terlihat membersihkan kucuran keringat di keningnya. Napasnya naik-turun.
Di luar hari libur, seperti itulah kegiatan sehari-hari Liliyana Natsir, salah-seorang pemain ganda campuran terbaik dunia yang dimiliki Indonesia.
Torehan prestasi Lilyana (bersama pasangannya terdahulu Nova Widianto dan sekarang Tantowi Ahmad) di dunia bulutangkis, membuatnya dinominasikan sebagai pemain terbaik dunia 2011 versi Federasi Bulutangkis Dunia, bersama enam pebulutangkis putri dunia lainnya, pada Desember 2011 lalu
Perempuan kelahiran 9 September 1985 ini merupakan satu-satunya pemain Indonesia yang masuk nominasi tersebut, diantara lima pemain Cina dan seorang pemain Denmark.
Itu satu kehormatan buat saya, ungkap Butet, begitu dia minta disapa, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, usai latihan di pinggir arena latihan Pelatnas Bulutangkis, Jakarta Timur.
(Nominasi itu) sekaligus menjadi pacuan buat saya untuk memberi yang terbaik buat Indonesia, tambah perempuan kelahiran Menado, Sulawesi Utara ini.
Tentu saja, predikat nominator pemain terbaik dunia 2011 itu tidak begitu saja datang-datang tiba.Sampai Desember 2011 lalu, Lilyana berada pada ranking empat pemain ganda putri terbaik dunia.
Sebuah proses panjang, tidak gampang, berliku, dan bahkan menuntut pengorbanan (“... Itu pilihan berat buat orang tua, (dan) buat saya sendiri,”ungkap Lilyana, ketika memutuskan berhenti sekolah pada usia 12 tahun, demi terjun total pada dunia bulutangkis) telah dilalui sosok Lilyana Natsir.

 Berawal dari halaman rumahnya di Menado, Sulawesi Utara, Butet mulai berkenalan bulutangkis. Dia memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai bulutangkis. Bersama kakak serta sang ibu, sejak umur 9 tahun, Lilyana kemudian belajar mengayunkan raket.
Melihat keseriusan putrinya, sang ibu, Olly Maramis, kemudian mendaftarkan Butet 'kecil' ke klub bulutangkis setempat, PB Pisok Menado.
Dalam perjalanannya, kalimat “anak ibu berbakat” akhirnya dilontarkan sang pelatih kepada ibunya, melihat penampilan Lilyana kala itu.
Sejak saat itulah, hidupnya berubah total. Latihan dan latihan, adalah kegiatan yang paling banyak menghiasai aktivitas kesehariannya.
“Tidak jarang setiap hari latihan,” kata Lilyana, suatu saat, mengenang perjalanan hidupnya.
Bisa ditebak, gabungan bakat dan latihan keras itu pada akhirnya membuahkan prestasi.
Pada sebuah kejuaraan di Menado, Lilyana menyumbangkan paling banyak medali emas untuk klubnya.
Dan, seperti menapaki tangga prestasi yang lebih tinggi, ketika usianya memasuki 12 tahun, Lilyana – atas keinginan pribadi dan dorongan keluarganya – akhirnya bergabung dengan klub bulutangkis Tangkas Alfamart, di Jakarta.
Jauh dari orang tua, pengalaman mandiri pada usia muda yang dilaluinya, kelak diakui oleh Lilyana ikut membentuk karakternya dalam bertanding.
“Di situlah yang bikin mental saya jadi kuat,” katanya, mengenang masa-masa yang digambarkannya begitu berat.

Pergulatan meyakinkan diri untuk tetap menekuni bulutangkis (di Jakarta) serta tekanan untuk kembali ke pangkuan ibunya di Menado, adalah masa-masa berat yang mesti dilalui Lilyana.
Semenjak 1997, dia memang tinggal di asrama klub Tangkas, Jakarta. Hanya sekali sepekan, sang paman mengajaknya menginap di rumahnya.Sisanya, dia harus seorang diri untuk meladeni kebutuhannya sehari-hari, tanpa bantuan seorang ibu.
“Itu beban berat buat saya,” akunya terus-terang, mengingat kembali pengalamannya saat itu.
Padahal, saat masih tinggal bersama keluarganya di Menado, Lilyana mengaku “tidak pernah pisah dengan orang tua.. di mana ada orang tua, di situ ada saya”.
Karena itulah, ketika rasa kangen terhadap orang tuanya begitu memuncak, dan di sisi lain dihadapkan persoalan hidup, Lilyana mengaku pernah menangis.
Bahkan, seperti diutarakannya pada sebuah wawancara, ketika suatu saat ada kesempatan pulang ke Menado, Lilyana menolak kembali ke Jakarta.
Sang ibulah yang kemudian membujuknya (dengan sabar) agar anaknya kembali menekuni dunia bulutangkis di ibukota.
Seiring dengan perjalanan waktu, Butet – panggilan akrab ini mulai disematkan teman-temannya (yang sebagian besar dari suku Batak) di PB Tangkas -- pelan-pelan akhirnya mampu mengubah problem 'rindu orang tua' itu menjadi semacam “tantangan” yang harus dihadapi sekaligus “motivasi” untuk meraih prestasi. (Selama menggeluti latihan di klub itu, Lilyana juga menemukan alasan kuat untuk bermain di sektor ganda, ketimbang tunggal, yang akhirnya berlanjut sampai kini).
Bertumpu pada pijakan seperti itu, diselingi raihan prestasi, Lilyana akhirnya terpilih masuk pelatnas bulutangkis di Cipayung, Jakarta Timur, pada 2002.

 Tetapi bagaimana dengan sekolah Lilyana, ketika dia pindah ke Jakarta, dan sepenuhnya menyerahkan hidupnya pada bulutangkis?
Lilyana membenarkan dia berhenti sekolah – dan menganggap keputusan itu sebagai “pilihan berat” buat orang tuanya dan dirinya sendiri.
“Tapi, ya itulah, kayak banyak orang ngomong, nggak bisa kita jalan dua-duanya,” katanya, menjelaskan latar belakang keputusannya itu.
Di usia 12 tahun, Lilyana meninggalkan bangku sekolah, dan memilih total terjun ke dunia bulutangkis. “Kita harus fokus salah-satu,” katanya, dengan nada tegas.
Tentu saja, menurutnya, pilihan itu dibuat didasarkan pertimbangan matang.
Pertama, dia merujuk nilai olahraga pada buku rapor sekolahnya. “Tidak hanya bulutangkis, basket, lari, dan olahraga lainnya, semua nilainya 9,” ungkapnya.
Lainnya, tentu saja bakat dan prestasi di luar sekolah yang diraihnya pada cabang olahraga bulutangkis. “Menurut saya, inilah dunia saya,” aku putri pasangan Beno Natsir dan Olly Maramis ini.
Dan ketika dia (dan kemudian didukung sepenuhnya oleh keluarganya) memutuskan berhenti sekolah, ada sebagian keluarga besarnya menyesalkan keputusan itu. “Sayang sekolah ditinggal, bagaimana masa depan(mu),” katanya, menirukan suara-suara itu.
Tetapi Lilyana bertekad untuk seratus persen menekuni dunia bulutangkis. Dan itu artinya dia harus berhenti sekolah. “Hidup itu pilihan,” katanya, berfilosofi. “Jadi, kita harus menerima resiko.”
“Kita memilih di olahraga, (maka) kita harus fokus, kita harus benar-benar serius, apapun hasilnya,” papar pemain bertinggi badan 168cm ini, lebih lanjut.

Sejarah kemudian mencatat, Lilyana tumbuh menjadi pemain spesialis ganda – yang disegani.Sempat bermain di ganda putri dengan berpasangan dengan Vita Marissa, namun sang pelatih Richard Mainaky menawarinya bermain di ganda campuran.
Dia lantas dipasangkan dengan Nova Widianto, semenjak 2004.
Rupanya, pilihan sang pelatih itu tidak salah. Buktinya, setahun kemudian, mereka meraih juara ganda campuran pada kejuaraan dunia di Amerika Serikat (2005). Di tahun 2007, Lilyana/Natsir kembali juara dunia ganda campuran, ketika kejuaraan itu digelar di Malaysia. Secara khusus, pada ajang ini, Lilyana mengaku puas.
“Karena kami bisa mengalahkan pasangan Cina, Zheng Bo/Gao Ling,” ungkapnya, mengomentari lawannya yang dianggapnya sebagai 'paling tangguh', pada awal karirnya di berbagai turnamen internasional.
Di ajang SEA Games, pasangan ini tidak terkalahkan, semenjak SEA Games di Thailand (2007) hingga Laos (2009).
Dan setelah Nova menggantung raket, Lilyana mempersembahkan emas pada SEA Games 2011 di Indonesia. Kali ini dia berpasangan dengan Tontowi Ahmad. Di berbagai ajang super series atau grand prix, kehadiran Lilyana dan pasangannya juga terus diperhitungkan.
Terakhir pada Grand Prix Macau Gold 2011 lalu, Lilyana/Tontowi Ahmad menjadi juara ganda campuran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana pendapat kalian ?