Menjelang siang, di antara bunyi pukulan raket dan teriakan para pemain
pelatnas bulutangkis yang tengah berlatih di Cipayung, Jakarta Timur,
Lilyana Natsir baru saja menyudahi latihan fisik.Tangannya terlihat
membersihkan kucuran keringat di keningnya. Napasnya naik-turun.
Di luar hari libur, seperti itulah kegiatan sehari-hari Liliyana
Natsir, salah-seorang pemain ganda campuran terbaik dunia yang dimiliki
Indonesia.
Torehan prestasi Lilyana (bersama pasangannya terdahulu Nova
Widianto dan sekarang Tantowi Ahmad) di dunia bulutangkis, membuatnya
dinominasikan sebagai pemain terbaik dunia 2011 versi Federasi
Bulutangkis Dunia, bersama enam pebulutangkis putri dunia lainnya, pada
Desember 2011 lalu
Perempuan kelahiran 9 September 1985 ini merupakan satu-satunya
pemain Indonesia yang masuk nominasi tersebut, diantara lima pemain Cina
dan seorang pemain Denmark.
Itu satu kehormatan buat saya, ungkap Butet, begitu dia minta
disapa, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, usai latihan di
pinggir arena latihan Pelatnas Bulutangkis, Jakarta Timur.
(Nominasi itu) sekaligus menjadi pacuan buat saya untuk memberi yang
terbaik buat Indonesia, tambah perempuan kelahiran Menado, Sulawesi
Utara ini.
Tentu saja, predikat nominator pemain terbaik dunia 2011 itu tidak
begitu saja datang-datang tiba.Sampai Desember 2011 lalu, Lilyana berada
pada ranking empat pemain ganda putri terbaik dunia.
Sebuah proses panjang, tidak gampang, berliku, dan bahkan menuntut
pengorbanan (“... Itu pilihan berat buat orang tua, (dan) buat saya
sendiri,”ungkap Lilyana, ketika memutuskan berhenti sekolah pada usia 12
tahun, demi terjun total pada dunia bulutangkis) telah dilalui sosok
Lilyana Natsir.
Berawal dari halaman rumahnya di Menado, Sulawesi Utara, Butet mulai
berkenalan bulutangkis. Dia memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai
bulutangkis. Bersama kakak serta sang ibu, sejak umur 9 tahun, Lilyana
kemudian belajar mengayunkan raket.
Melihat keseriusan putrinya, sang ibu, Olly Maramis, kemudian
mendaftarkan Butet 'kecil' ke klub bulutangkis setempat, PB Pisok
Menado.
Dalam perjalanannya, kalimat “anak ibu berbakat” akhirnya
dilontarkan sang pelatih kepada ibunya, melihat penampilan Lilyana kala
itu.
Sejak saat itulah, hidupnya berubah total. Latihan dan latihan,
adalah kegiatan yang paling banyak menghiasai aktivitas kesehariannya.
“Tidak jarang setiap hari latihan,” kata Lilyana, suatu saat, mengenang perjalanan hidupnya.
Bisa ditebak, gabungan bakat dan latihan keras itu pada akhirnya membuahkan prestasi.
Pada sebuah kejuaraan di Menado, Lilyana menyumbangkan paling banyak medali emas untuk klubnya.
Dan, seperti menapaki tangga prestasi yang lebih tinggi, ketika
usianya memasuki 12 tahun, Lilyana – atas keinginan pribadi dan dorongan
keluarganya – akhirnya bergabung dengan klub bulutangkis Tangkas
Alfamart, di Jakarta.
Jauh dari orang tua, pengalaman mandiri pada usia muda yang
dilaluinya, kelak diakui oleh Lilyana ikut membentuk karakternya dalam
bertanding.
“Di situlah yang bikin mental saya jadi kuat,” katanya, mengenang masa-masa yang digambarkannya begitu berat.
Pergulatan meyakinkan diri untuk tetap menekuni bulutangkis (di Jakarta)
serta tekanan untuk kembali ke pangkuan ibunya di Menado, adalah
masa-masa berat yang mesti dilalui Lilyana.
Semenjak 1997, dia memang tinggal di asrama klub Tangkas, Jakarta.
Hanya sekali sepekan, sang paman mengajaknya menginap di
rumahnya.Sisanya, dia harus seorang diri untuk meladeni kebutuhannya
sehari-hari, tanpa bantuan seorang ibu.
“Itu beban berat buat saya,” akunya terus-terang, mengingat kembali pengalamannya saat itu.
Padahal, saat masih tinggal bersama keluarganya di Menado, Lilyana
mengaku “tidak pernah pisah dengan orang tua.. di mana ada orang tua, di
situ ada saya”.
Karena itulah, ketika rasa kangen terhadap orang tuanya begitu
memuncak, dan di sisi lain dihadapkan persoalan hidup, Lilyana mengaku
pernah menangis.
Bahkan, seperti diutarakannya pada sebuah wawancara, ketika suatu
saat ada kesempatan pulang ke Menado, Lilyana menolak kembali ke
Jakarta.
Sang ibulah yang kemudian membujuknya (dengan sabar) agar anaknya kembali menekuni dunia bulutangkis di ibukota.
Seiring dengan perjalanan waktu, Butet – panggilan akrab ini mulai
disematkan teman-temannya (yang sebagian besar dari suku Batak) di PB
Tangkas -- pelan-pelan akhirnya mampu mengubah problem 'rindu orang tua'
itu menjadi semacam “tantangan” yang harus dihadapi sekaligus
“motivasi” untuk meraih prestasi. (Selama menggeluti latihan di klub
itu, Lilyana juga menemukan alasan kuat untuk bermain di sektor ganda,
ketimbang tunggal, yang akhirnya berlanjut sampai kini).
Bertumpu pada pijakan seperti itu, diselingi raihan prestasi,
Lilyana akhirnya terpilih masuk pelatnas bulutangkis di Cipayung,
Jakarta Timur, pada 2002.
Tetapi bagaimana dengan sekolah Lilyana, ketika dia pindah ke Jakarta, dan sepenuhnya menyerahkan hidupnya pada bulutangkis?
Lilyana membenarkan dia berhenti sekolah – dan menganggap keputusan
itu sebagai “pilihan berat” buat orang tuanya dan dirinya sendiri.
“Tapi, ya itulah, kayak banyak orang ngomong, nggak bisa kita jalan
dua-duanya,” katanya, menjelaskan latar belakang keputusannya itu.
Di usia 12 tahun, Lilyana meninggalkan bangku sekolah, dan memilih
total terjun ke dunia bulutangkis. “Kita harus fokus salah-satu,”
katanya, dengan nada tegas.
Tentu saja, menurutnya, pilihan itu dibuat didasarkan pertimbangan matang.
Pertama, dia merujuk nilai olahraga pada buku rapor sekolahnya.
“Tidak hanya bulutangkis, basket, lari, dan olahraga lainnya, semua
nilainya 9,” ungkapnya.
Lainnya, tentu saja bakat dan prestasi di luar sekolah yang
diraihnya pada cabang olahraga bulutangkis. “Menurut saya, inilah dunia
saya,” aku putri pasangan Beno Natsir dan Olly Maramis ini.
Dan ketika dia (dan kemudian didukung sepenuhnya oleh keluarganya)
memutuskan berhenti sekolah, ada sebagian keluarga besarnya menyesalkan
keputusan itu. “Sayang sekolah ditinggal, bagaimana masa depan(mu),”
katanya, menirukan suara-suara itu.
Tetapi Lilyana bertekad untuk seratus persen menekuni dunia
bulutangkis. Dan itu artinya dia harus berhenti sekolah. “Hidup itu
pilihan,” katanya, berfilosofi. “Jadi, kita harus menerima resiko.”
“Kita memilih di olahraga, (maka) kita harus fokus, kita harus
benar-benar serius, apapun hasilnya,” papar pemain bertinggi badan 168cm
ini, lebih lanjut.
Sejarah kemudian mencatat, Lilyana tumbuh menjadi pemain spesialis ganda
– yang disegani.Sempat bermain di ganda putri dengan berpasangan dengan
Vita Marissa, namun sang pelatih Richard Mainaky menawarinya bermain di
ganda campuran.
Dia lantas dipasangkan dengan Nova Widianto, semenjak 2004.
Rupanya, pilihan sang pelatih itu tidak salah. Buktinya, setahun
kemudian, mereka meraih juara ganda campuran pada kejuaraan dunia di
Amerika Serikat (2005). Di tahun 2007, Lilyana/Natsir kembali juara
dunia ganda campuran, ketika kejuaraan itu digelar di Malaysia. Secara
khusus, pada ajang ini, Lilyana mengaku puas.
“Karena kami bisa mengalahkan pasangan Cina, Zheng Bo/Gao Ling,”
ungkapnya, mengomentari lawannya yang dianggapnya sebagai 'paling
tangguh', pada awal karirnya di berbagai turnamen internasional.
Di ajang SEA Games, pasangan ini tidak terkalahkan, semenjak SEA Games di Thailand (2007) hingga Laos (2009).
Dan setelah Nova menggantung raket, Lilyana mempersembahkan emas
pada SEA Games 2011 di Indonesia. Kali ini dia berpasangan dengan
Tontowi Ahmad. Di berbagai ajang super series atau grand prix, kehadiran
Lilyana dan pasangannya juga terus diperhitungkan.
Terakhir pada Grand Prix Macau Gold 2011 lalu, Lilyana/Tontowi Ahmad menjadi juara ganda campuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagaimana pendapat kalian ?