BULUTANGKIS sektor putri Indonesia sangat mengalami keterpurukan.
Tidak ada sebuah gelar pun yang dibawa para atlet dari ajang internasional
sekarang ini. Pada perebutan Piala Sudirman kali ini pun sektor tunggal
dan ganda putri cuma menjadi kartu mati. Sebenarnya ada persoalan apa yang
menggayuti bulutangkis sektor putri? Tak ada cara lain kita harus mencari
akar persoalannya. Dan, Retno Kustiyah yang merupakan mantan pelatih Susi
Susanti dan juara All England ganda putri 1968 bersama Minarni layak menjawab
pertanyaan itu. Berikut petikan wawancaranya.
Persoalan besar apa yang membuat bulutangkis putri mengalami kemunduran
luar biasa?Kita harus memetakan hal ini paling sedikit dalam dua bidang. Pertama, kita belum memiliki bibit pebulutangkis putri masa depan Indonesia. Kedua, ada faktor perubahan lingkungan pergaulan generasi muda saat ini. Sekarang anak-anak dan remaja sepertinya tidak tertarik secara khusus pada bulutangkis. Ini berarti penyediaan sumber daya manusia sangat minim.
Remaja sekarang lebih suka bermain di pusat-pusat perbelanjaan dan menikmati dunia lain selain olahraga. Masalah kita ini juga pernah dihadapi Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Denmark, dan Thailand. Dulu mereka kuat sekali di sektor putri. Sekarang mereka seperti kita.
Bagaimana cara mengatasi hal tersebut?
Anak-anak usia dini dan remaja perlu diberikan stimulus agar mereka tertarik pada bulutangkis. Cara yang paling efektif adalah memasyarakatkan bulutangkis ke seluruh Indonesia. Saya bersyukur sekarang ini mulai terjadi hal itu. Misalnya ada kepedulian produsen susu dan produsen peralatan olahraga yang mau membantu program pembinaan PB PBSI. Mereka menggelar berbagai kejuaraan antarkota. Mereka berusaha membangkitkan dan memunculkan generasi bulutangkis Indonesia masa depan. Setelah generasi Minarni dan saya ada Verawaty, Ivana dan Imelda. Ada juga Tati Sumirah dan Utami Dewi dan kemudian muncul Elizabeth, Sarwendah, Ratih, Susi, Mia, serta Lydia. Di ganda ada Finarsih, Lyli Tampi, serta Zelin dan Elizabeth . Mereka ini adalah nama-nama yang pernah berjuang keras untuk merebut Piala Uber sekitar 1994 dan 1996.
Pada 1975 Indonesia kali pertama merebut piala Uber. Saat itu keadaanya sebenarnya tidak memungkinkan untuk merebut piala tersebut. Ini karena tidak ada pemain yang pernah menjuarai All England dan event internasional lain.
Sebenarnya kunci kemenangannya adalah rasa persatuan dan kesatuan. Inilah yang menguatkan kita dalam pertandingan beregu. Padahal saat itu Mba Min sudah berkeluarga. Namun ada Tati Sumirah, Utami Dewi, dan Imelda, serta Theresia Widiastuti. Itu artinya pemainnya cuma lima orang. Faktor utama memenangkan pertandingan adalah daya juang dan semangat kebersamaan. Terlebih saat itu mainnya di Indonesia.
Apakah Anda menilai positif gerakan-gerakan untuk memasyarakatkan bulutangkis yang digagas berbagai perusahaan tersebut?
Saya sangat bergembira melihat antusiasme mereka dalam memasyarakatkan bulutangkis. Semoga ini bisa menarik minat anak-anak usia dini dan remaja. Jadi kalau ada bibit unggul secara genetis dan fisik bisa ke bulutangkis. Misalnya remaja putri yang tinggi-tinggi jangan hanya berkeinginan jadi peragawati saja. Jangan cuma bisa bermain ke kafe-kafe dan mal-mal. Kalau mereka tertarik ke bulutangkis sangat menguntungkan kita. Setidaknya kita sudah punya bibit unggul dari segi fisik.
Anda setuju sekali pada gerakan yang ingin mengembalikan bulutangkis sebagai olahraga primadona?
PBSI -di bawah pimpinan Sutiyoso- mempunyai program-program pembinaan berjenjang yang sangat bagus. Ini terutama untuk sektor putri. Sutiyoso menyadari betul kelemahan kita di sektor putri. Dia ingin menggali bibit-bibit dari pelosok daerah. Pengembangan daerah dintruksikan untuk mengbangkitkan dan mendirikan pusdiklat dan pelatda. Pusdiklat dan pelatda akan menjaring pemain-pemain yang punya kualitas. Dari pelatda akan naik ke pratama sampai ke pelatnas.
Bagaimana jika ada usulan pemasyarakatan bulutangkis melalui sekolah-sekolah di seluruh Indonesia?
Saya memandang ini sebagai titik awal pembinaan sektor putri secara khusus. China sudah melakukan hal itu. Basis pembinaan untuk regenerasi pemain dari sekolah-sekolah. Kalau pembinaannya di sekolah pasti pendidikannya sudah bagus. Kalau pendidikannya bagus, maka otaknya bagus dan cerdas. Sebab beberapa atlet yang pendidikannya lumayan, mudah menerima instruksi dan mampu menjalankan taktik. Stretaginya juga bagus.
Bagaimana sebenarnya faktor kompetitif fisik manusia Indonesia dibanding dengan China, Korea ataupun Eropa. Bisakah kita bersaing secara ketat dengan mereka?
Sekarang kita tidak perlu menghawatirkan hal itu. Faktor gizi yang menunjang pertumbuhan sudah ada. Ada susu gratisan untuk atlet-atlet. Ini bisa membantu pertumbuhan fisik dan otak mereka. Bahkan sekarang ada intruksi dari Sutiyoso agar para pemandu bakat PBSI mencari pemain masa depan yang kompetitif dalam segi tinggi badan dengan pemain Cina, Korsel maupun Eropa.
Apa diperlukan kompetisi bulutangkis khusus untuk putri di dalam negeri?
Ini ide bagus. Rasanya memang layak dicoba dan dikembangkan. Sebenarnya kompetisi di sini sudah berjalan bagus. Setiap dua tahun ada kejuaraan nasional antarklub. Memang masih sentralistik. Pembinaan sektor putri masih di Jawa saja. Konsep ini harus diubah. Pembinaan sektor putri harus merata di seluruh Indonesia. Saya mempunyai usulan agar dihidupkan kembali sistem kejuaraan seperti konsep Piala Thomas untuk sektor putri. Harus dimainkan tiga nomor putri dalam setiap kejurnas. Harus dimainkan dua nomor tunggal putri dan satu ganda putri. Bentuknya bisa kejurnas atau apa pun.
Kalau seseorang pada usia dini telah menetapkan bulutangkis sebagai pilihan, apakah kelak dunianya itu bisa menjamin masa depan?
Sekarang ini bulutangkis sudah dijadikan profesi. Dari bulutangkis sudah ada kontrak dan price money. Yang berprestasi diberi perlakukan khusus. Misalnya ada dispensasi dan prioritas studi dan berkerja. Kalau lumayan malah bisa ke luar negeri. Ini juga daya tarik bulutangkis. Bulutangkis sebenarnya bisa untuk sangu masa depan. Perhatian berbagai pihak terhadap bulutangkis makin bagus. Kepastian hukumnya juga ada. Ikatan kontrak selalu jelas dan tidak merugikan atlet. Semuanya profesional. Contohnya yang berlaku di pelatnas Cipayung dan klub Djaya Raya.
Bagaimana peran pemerintah?
Perlu ditingkatkan lebih jauh lagi. Apalagi saat ini sudah ada Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Mestinya yang diurus jangan hanya faktor kepemudaan. Olahraga penting. Sekarang mbok tulung setelah di Olimpiade merebut medali emas, perhatian ke bulutangkis lebih fokus lagi. Jujur saja bulutangkis telah mengibarkan dan membangkitkan semangat nasionalisme. Pemerintah juga harus membantu proses regenerasi pemain. Kita jangan berhenti pada generasi medali emas dari Allan ke Taufik. Kita tak boleh melupakan Susi. Tradisi medali emas Olimpiade harus dijadikan keharusan.
Sepertinya perhatian pemerintah dan pengurus sangat kurang terhadap atlet. Misalnya saja banyak atlet yang "berlari" ke luar negeri. Bagaimana menurut pendapat Anda?
Rasanya tidak demikian. Yang diprioritaskan kan sang juara. Karena itu yang ke luar negeri biasanya peringkat kedua atau di bawahnya. Yang sangat diperhatikan jelas peringkat utama atau juara. Ini wajar saja. Di negara mana pun juga demikian. Ini seleksi alam biasa. Mereka kan butuh hidup. Mungkin di luar negeri masa depannya lebih bagus.
Kembali ke masalah minat untuk menjadi pebulutangkis. Saat ini konsep badmini atau badminton lapangan dan raket kecil sedang dikembangkan. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Sebenarnya badmini kan untuk anak-anak yang masih kecil. Ya istilahnya mestinya untuk bawah lima tahun saja. Kalau di atas umur itu sudah ada kejuaraannya. Mereka akan kikuk kalau dipaksa langsung bermain dari raket kecil ke raket dan lapangan normal. Mungkin akan lebih bagus kalau dari badmini usia balita terus ke umur enam tahun dan selama setahun melakukan adaptasi dengan raket dan lapangan normal. Jadi badmini harusnya lebih difokuskan untuk menarik minat anak-anak saja. Cuma kalau dimasukan ke pembinaan akan kacau.
Kalau semua program pembinaan untuk sektor putri yang digagas oleh PBSI berjalan sesuai rencana, berapa lama kira-kira era Susi Susanti akan kembali lagi?
Saya rasa sekitar sepuluh tahunan. Sebab kalau sudah jadi empat tahunan, maka setelah itu butuh proses pematangan lagi.
Bagaimana faktor jam terbang anak-anak pelatnas sektor putri?
Kalau dikirimkan langsung ke turnamen berbintang lima ke atas, bisa langsung kalah dibabak kualifikasi. Ini bisa memukul jiwa. Mestinya para pemain harus sadar. Mereka harus bertanding berjenjang. Misalnya dari sirkuit ke satelit. Kemudian dari satelit ke turnamen berbintang.
Sekarang bulutangkis mengalami mutasi dari segi permainan. Dulu ada gaya bermain bulutangkis indah dan atraktif seperti gaya Svend Pri dan I'Ie Sumirat. Kenapa sekarang cenderung main cepat dan keras. Apakah kita hanya menginginkan bulutangkis yang efektif?
Saya rasa target utama dalam bermain adalah menang.
Pelatih China seperti Li Yong Bo dan Park Joo Bong dari Korsel sangat keras dalam mendidik atlet. Mereka bahkan sering melakukan tamparan. Nyatanya atlet mereka bagus. Kenapa kalau di sini ada pelatih yang melakukan pendisiplinan dengan kekerasan menjadi itu menjadi masalah besar?
Mungkin karena adat ketimuran kita masih sangat kental. Pendekatan pelatih kita masih dominan pada pendekatan kasih sayang dan bicara dari hati ke hati. Di adat ketimuran kekerasan ditabukan.
Resep apa yang perlu diciptakan agar pemain putri bisa sukses?
Mereka harus meniru kebersahajaan Susi Susanti. Susi itu tipikal pemain yang bagus. Dia disiplin dan mau menyadari kelemahannya. Kalau mau bertanding dia konsentrasi penuh. Susi tidak pernah keluar malam. Kalau habis bertanding dia nonton calon lawannya. Kalau kalah dia mengatakan lawannya bagus. Dia sangat menghargai lawan. Dia juga rendah hati dan mau menerima kritik. Susi tidak besar kepala. Inilah kunci sukses Susi. Selama saya melatih dia, Susi tahu benar kewajibannya. Saya tidak perlu teriak-teriak untuk memberikan instruksi nonteknis untuknya. Buah disiplin dan kerendahhatian mengantar Susi menjadi juara dunia, All England, dan Olimpiade. Prestasinya lengkap. Pantaslah jika pemain masa kini meniru Susi. (Budi Yuwono Alatas-35)