PRESTASI RACKET GEMILANG
tulisan berjalan
Senin, April 22, 2013
Tan Joe Hok, Perintis di Pentas Bulu Tangkis.Terasing di Negeri Sendiri
TAN Joe Hok menorehkan sejarah setengah abad lalu. Ia pemain bulu tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain—Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie—Tan juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air. Kini 72 tahun usianya. Berpuluh tahun menggantungkan raket, Tan berjuang di lapangan yang lain: merobohkan tembok diskriminasi yang membuatnya merasa dipinggirkan sekaligus dilupakan.Di tengah prestasi yang kerontang kini, bulu tangkis Indonesia perlu menengok kembali cerita Tan. Kepada Tempo, ia menuturkan kisah hidupnya yang berwarna. SAYA dilahirkan di zaman yang salah. Tak seperti di zaman kini yang serba tersedia, saya mulai menekuni bulu tangkis pada kondisi yang serba terbatas. Saya tak punya raket, lapangan bulu tangkis bersemen tak ada, untuk berlatih di klub pun harus menempuh jarak yang jauh menggunakan sepeda.. Dan ketika pertama kali ditunjuk sebagai salah satu anggota tim Piala Thomas, saya berangkat ke lapangan udara Kemayoran menggunakan becak.Ini cerita seorang Tan Joe Hok. Mungkin orang hanya tahu saya orang pertama yang menjuarai All England, pada 1959, dan meraih medali emas Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga merebut Piala Thomas untuk pertama kali, pada 1958. Nama saya pun diulas panjang-lebar di majalah Sport Illustrated—majalah olahraga bergengsi di Amerika—ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut sebagai pemain tak terkalahkan. Namun, di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput liar yang mesti hidup di segala keadaan.Saya lahir di zaman malaise yang waktu itu baru berakhir. Tepatnya pada 11 Agustus 1937. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya, Tan Tay Ping (almarhum), bekerja sebagai pedagang tekstil yang harus sering meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga kami kekurangan. Untuk membeli beras, kami harus antre. Sejak berumur lima tahun, saya sudah terbiasa antre beras sendirian.Ketika umur saya menginjak enam tahun, pasukan Jepang belum lama masuk Indonesia. Saya masih ingat bagaimana pesawat-pesawat Jepang yang berseliweran di atas kampung kami di Jatiroke, Jatinangor, Sumedang, ditembaki tentara Belanda. Kedatangan Jepang itu membuat hidup kami makin susah. Berkali-kali kami harus mengungsi.Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung. Di kota itu awalnya kami tinggal di Gang Kote. Di sanalah awalnya saya mengenal bulu tangkis. Saya sering melihat ibu saya, Khoe Hong Nio, bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan di Gang Sutur, tak jauh dari gang rumah saya.Ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami harus mengungsi lagi karena perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami mendiami sebuah rumah di Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung. Sebuah rumah amat sederhana berpekarangan luas. Di pekarangan itulah ayah saya membuat lapangan bulu tangkis sederhana, lapangan berdasar tanah dengan garis terbuat dari bambu.Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam, keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.. Saya, yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket.. Sebagai pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya. Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama.Ternyata banyak yang memuji kemampuan saya bermain bulu tangkis.. Mereka mengatakan gerakan kaki dan tangan saya cepat sekali. Orang yang sudah bermain puluhan tahun pun gampang saya kalahkan. Saya tak mengerti teknik. Tapi, soal gerakan kaki, saya belajar dari pertandingan tinju yang sering saya saksikan di Bandung. Saya sangat terkesan dengan gerak kaki petinju itu. Lalu saya meniru dengan latihan skipping. Sebagai rumput liar, saya yakin, saya pasti bisa bermain bulu tangkis.Suatu hari Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung, memuji bakat saya. Dia mengajak saya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di Bandung. Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan menghasilkan pemain hebat, seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena, dan Ivanna Lie. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan berlatih saban hari. Saya berlatih sejak pukul lima pagi.Dari Jalan Ksatrian, kami pindah ke Jalan Gedung Sembilan, Pasir Kaliki. Di sana tidak ada lapangan bulu tangkis. Saya harus berlatih di lapangan bulu tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong, sekitar lima kilometer dari rumah saya. Meskipun bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya cukup bagus karena sudah dipoles semen.Salah satu teman latihan saya di PB Pusaka adalah Tutang Djamaluddin. Setiap akan berlatih bulu tangkis, saya dan Tutang naik sepeda ontel dari rumah masing-masing sambil memegangi raket tak bersarung dan tiga kok yang dibungkus kertas koran. Dari sinilah karier saya sebagai pemain bulu tangkis terus melesat. Berkali-kali saya ikut kejuaraan dan selalu menang. Saat 15 tahun, saya menang di Kejuaraan Bandung.Selanjutnya, saya mulai mengikuti kejuaraan nasional. Dua tahun kemudian, pada 1954, saya jadi juara Indonesia, mengalahkan Njoo Kim Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun berikutnya, giliran pemain terkenal Eddy Jusuf yang saya kalahkan. Saya juga diundang mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957. Saya selalu menang.Dan yang paling tak terlupakan adalah ketika saya, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama Indonesia untuk merebut Piala Thomas 1958. Kebahagiaan saya makin berlipat ketika akhirnya kami berhasil memboyong piala bergengsi itu. Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta disiarkan di radio. Kami juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat Puncak. Jalan saya sebagai pemain bulu tangkis kian mulus.*l l l*Ketika menjalani tur ke beberapa kota di India, saya bertemu dengan Ismail bin Mardjan, salah seorang juara ganda All England asal Malaya yang tinggal di Singapura. Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tapi sudah saya anggap sebagai kakak. Kami berkeliling India lebih dari setengah bulan. Ismail memberi saya nasihat: ”Joe Hok, kamu bisa jadi pemain nomor satu di dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu sudah juara, sebaiknya berhenti. Jangan hidup seperti saya.” Saya tak pernah lupa kata-kata itu.Ketika saya singgah di kediaman Ismail di Singapura, saya menemukan jawaban mengapa Ismail tak mau nasib saya seperti dia. Ismail ternyata hidup dalam kemiskinan. Rumahnya terletak di perkampungan kumuh di dekat kali yang hitam dan berbau. Maklum, Singapura kala itu belum seperti sekarang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai anggota satpam. Melihat kondisi Ismail, saya langsung bertekad tak mau jadi pemain bulu tangkis selamanya. Saya ingin hidup lebih layak.Setelah berturut-turut meraih kemenangan di kejuaraan All England, Kanada, dan Amerika Serikat, saya memutuskan menggantung raket. Saya tak kembali ke Tanah Air, tapi langsung menuju Texas, Amerika. Saya mendapat beasiswa untuk kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology. Untuk biaya hidup sehari-hari, saya bekerja serabutan. Apa saja saya kerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih kampus yang dibayar satu jam 50 sen dolar. Saya bekerja delapan jam agar bisa menyambung hidup. Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau menjalani pekerjaan itu demi selesainya studi saya. Saya tak ingin nasib saya seperti Ismail.Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), saya masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Jakarta pada 1961 dan di Tokyo pada 1964.. Bahkan, pada 1962, saya juga pulang untuk Asian Games dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games.Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan niat kembali ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya memilih mengabdi untuk negara saya, Indonesia.Peristiwa Gerakan 30 September mengubah segalanya. Sebagai warga keturunan, saya dan teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. Kami seperti dianggap bukan bagian dari bangsa ini. Saya bahkan harus mengubah nama saya menjadi Hendra Kartanegara. Saya yang dulu dijunjung tinggi setinggi langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre berjam-jam membaur dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat surat bukti bahwa saya orang Indonesia.Namun saya tak mau larut dalam dendam. Pada 1969, bersama istri dan dua anak, saya meninggalkan Indonesia untuk menjadi pelatih bulu tangkis di Meksiko dan Hong Kong. Saya kembali ke Jakarta pada 1972 dan mendirikan usaha di bidang pest control, jasa pengendalian hama.Toh, panggilan untuk bergelut di bulu tangkis tak pernah hilang. Bersama Tahir Djide, saya menjadi pelatih pelatnas tim Piala Thomas 1984Di final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, tim Indonesia, yang terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian Hadinata, Hadibowo, dan Kartono, akhirnya sukses mengalahkan Han Jian dan kawan-kawan dari Cina.Sekarang prestasi Indonesia benar-benar memprihatinkan. Saya tidak menyalahkan atlet. Banyak hal yang harus dibenahi. Dulu kami bermain hanya demi kepentingan nasional, tak memikirkan masalah materi. Yang penting bisa membawa nama harum negara. Tapi zaman sudah berubah. Kesejahteraan atlet harus diperhatikan.Kini kita kalah oleh Cina. Mereka memiliki sistem pembinaan yang baku. Kesejahteraan atlet benar-benar diperhatikan sehingga orang tua berbondong-bondong ingin anaknya jadi atlet. Atlet yang sudah tak aktif juga disekolahkan oleh pemerintah. Tidak seperti di Indonesia: setelah tak lagi berprestasi, tak diperhatikan. Banyak yang menjalani hari tua susah dan sakit-sakitan.Saya ingin atlet bulu tangkis memiliki sponsor pribadi. Misalnya dia jadi bintang iklan, maka kontrak iklan itu seluruhnzya buat dia, bukan dibagi-bagi dengan alasan untuk pembinaan. Dulu hal ini dilaksanakan betul. Liem Swie King mengalaminya. Ini memicu para atlet menjadi yang terbaik. Atlet mendapat penghargaan sesuai dengan prestasi yang diraihnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagaimana pendapat kalian ?