tulisan berjalan

SELAMAT DATANG di akun media sosial racketbadminton.blogspot.co.id

Sabtu, September 29, 2012

Bulutangkis Adalah Olahraga Yang Unik

Bulutangkis.com - Bulutangkis adalah olahraga yang unik. Ia tidak sama dalam banyak hal dengan olahraga-olahraga lainnya. Nama – kalau kita menggunakan nama aslinya, badminton – misalnya berbeda dengan cabang-cabang lain. Kalau cabang-cabang lain sedikit banyak menggambarkan bagaimana olahraga itu dilakukan – sepak bola karena menyepak-nyepak bola, bola basket karena memasukkan bola ke basket (keranjang), tennis meja karena melakukan tennis diatas meja – maka badminton berasal dari nama tempat. Tepatnya nama sebuah gedung atau bangunan. Beruntung bangsa Indonesia bisa menemukan nama yang sesuai dengan olahraga itu: bulu tangkis, bulu yang ditangkis-tangkis. Lihat juga peralatannya. Shuttlecock yang dipakai sebagai “bola” terbuat sebagian dari hewan, tepatnya bulu-bulu itik. Kini hampir tiada lagi olahraga yang menyandarkan diri pada binatang untuk peralatannya. Sepak bola, dan juga cabang-cabang lain yang memakai bola (besar), kini tidak memakai kulit binatang.

Bagi Indonesia, bulutangkis juga olahraga yang unik. Dia satu-satunya cabang yang sudah memasukkan nama Indonesia dalam peta medali emas Olimpiade, para pemainnyasudah mempersaembahkan medali emas pesta olahraga empat tahunan itu. Dia juga satu-satunya olahraga yang bisa membawa bangsa Indonesia ke tingkat tertinggi di dunia. Lihatlah belasan gelar tingkat dunia diraih, baik perseorangan maupun beregu. Rekor-rekor atas nama putra Indonesia juga diukir. Rudy Hartono menjadi satu-satunya pemain didunia yang bisa delapan kali merebut gelar juara All England, kejuaraan yang biasa disebut sebagai arena tingkat dunia tidak resmi. Para pemain putra Indonesia mencatat sejarah dengan mengantungi Piala Thomas lima kali berturut-turut. Dikejuaraan beregu putra ini Indonesia juga paling banyak menjadi putra – 13 kali – sementara Cina dan Malaysia (termaksud ketika masih bernama Malaya) masing-masing lima kali.

Para pemain putri memang tidak seperkasa pemain putra, tetapi mereka juga mengukir prestasi fenomenal. Susy Susanti, misalnya, adalah atlet pertama Indonesia yang merebut medali emas. Pada hari Selasa 4 Agustus 1992 di Barcelona dia mengalahkan Bang So-hyun dari Korea Selatan untuk merebut medali emas pertama Olimpiade bagi Indonesia – belasan jam kemudian diikuti pacar yang kini menjadi suaminya, Alan Budikusuma.

Selain pencapaian prestasi tinggi tersebut, banyak yang bisa dicatat dari pelajaran bulutangkis Indonesia. Misalnya tentang masuknya bulutangkis ke Indonesia. Siapa yang membawa, dari mana, dimana dan kapan masuknya, masih menjadi tanda tanya. Meski ada perkiraan tahun 1920-an, tetapi tidak ada satu bukti tertulis pun yang bisa ditengok. Tim penulis buku ini sudah berbagai penjuru Tanah Air untuk mencari hal tersebut dan tidak menemukan satu bukti pun yang bisa mengantar bahwa bulutangkis pertama kali dimainkan di kota A pada tahun B. Orang-orang yang sudah berumur diatas 80 tahun pun yang ditemui tidak bisa bercerita jelas tentang itu. Mereka hanya bisa mengatakan pada usia sekian dia sudah menyaksikan bulutangkis dimainkan di kotanya.

Boleh jadi tahun 1920-an adalah awal masuk dan kemudian dimainkannya bulutangkis di Indonesia, meski surat kabar – surat kabar zaman itu tidak pernah memuat berita tentang “badminton” tersebut. Baru tahun 1930-an bulutangkis mewabah. Iklan-iklan disurat kabar menawarkan raket dan shuttlecock. Surat kabar juga mulai memberitakan pertandingan antara satu kota dengan kota lain, antara satu perkumpulan dengan perkumpulan lain, atau hasil suatu kejuaraan dalam rangka suatu pasar malam. Tahun 1920-an yang mendominasi berita olahraga (waktu itu masih dipakai “sport”) adalah voetbal (sepakbola), boksen (tinju), dan atletik, ditambah dengan renang, atau balap kuda. Tidak sekalipun tertulis kata “badminton”.

Medan dan Pematangsiantar di Sumatera Utara dan Palembang di Sumatera Selatan dan Jakarta boleh jadi kota-kota pertama yang memainkan bulutangkis. Hubungan perdagangan yang rapat dengan Penang (bagi Medan dan Pematangsiantar) dan Singapura (bagi Palembang dan Jakarta), menjadikan sering terjadinya kontak orang per orang, dengan salah satu akibatnya terjadi pertukaran hobi atau permainan yang mereka lakukan. Para pedagang tampaknya yang memulai permainan ini di Indonesia. Mereka juga menyebarkannya. Di Majenang, Jawa Tengah, pedagang asal Tasikmalaya, Jawa Barat, malam sebelum pagi harinya berjualan pada hari pasaran “kota” itu, biasa bermain bulutangkis. Kebiasaan bermain bulutangkis ini kemudian menular ke kota itu.

Itu tentu pada sebagian besar perkembangan di Indonesia. Ada satu cerita menarik dari Makassar. Menurut tokoh masyarakat dan olahraga kota itu, Andi Matalatta, bulutangkis masuk ke kota dari Sawahlunto, Sumatera Barat, dibawa oleh para pelajar yang menuntut ilmu agama di kota tambang batu bara tertua itu. Mereka yang mula-mula memaikan di Makassar dan kemudian diikuti yang lain-lain.

Bulutangkis kini sudah menjadi olahraga rakyat dan negara. Tiada peristiwa bulutangkis yang tidak melibatkan kalangan pemerintahan, misalnya. Sukses mengantar bulutangkis juga bisa menjadi ukuran sukses tidaknya ditempat lain – pemerintahan maksudnya, baik sipil maupun militer. Orang yang memimpin PBSI juga seketika terkenal, sedikitnya lebih terkenal dibanding jika tidak menduduki jabatan di PBSI. Seakan-akan orang tersebut terangkat namanya jika menjadi pemimpin PBSI. Apalagi jika pada masanya muncul prestasi-prestasi fenomenal.

Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sendiri berdiri jauh setelah olahraga ini masuk Indonesia. Kalau masuk tahun 1920-an, maka organ isasi nasional baru berdiri tahun 1951, sekitar 30 tahun setelah masuknya ke Indonesia atau enam tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Jauh berbeda dengan berdirinya Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Lawn Tenis Indonesia (Pelti) yang tahun 1930-an. Kedua organisasi itu – terutama PSSI – menjadi salah satu ajang perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan. Mereka bertarung di arena itu dengan para pemain yang di bawah organisasi penjajah Belanda.

Memang ada organisasi yang menaugi bulutangkis, yaitu KORI, tetapi bukan organisasi khusus bulutangkis. Komite Olahraga Republik Indonesia ini menaugi banyak cabang olahraga dan badminton – sebelum berganti nama menjadi bulutangkis – menjadi salah satu bagiannya. Meski begitu, di organisasi yang mulanya dimunculkan saat Jepang menjajah Indonesia ini, badminton mendapat nama baru, bulutangkis. Ini berawal dari keharusan orang Indonesia untuk tidak menggunakan bahasa Belanda atau Inggris, yang ketika berperang dengan Jepang, dalam segala hal. Maka ketika disadari bahwa badminton berasal dari kata “asing” dicarilah padanan kata Indonesianya. Muncullah kata bulutangkis, bulu yang ditangkis-tangkis. Jangan mencari lebih jauh tentang makna itu. Yang penting itu nama Indonesia, sama dengan sepak bola, yang aslinya football. Seperti football, yang artinya harfiahnya bola kaki, maka kata bulutangkis juga sama dengan sepak bola, memiliki arti terbatas dilihat dari kata-katanya tetapi memiliki arti yang lebih luas dari segi istilah. Cabang olahraga ini tidak hanya menangkis shuttlecock tetapi juga memukul, menepak, “menghajar”-nya. Apa istilah yang tepat jika pemain “mensmes” shuttlecock atau kok itu? Sama juga dengan sepak bola yang tidak hanya menyepak, tetapi juga menyundul atau menendang?

Dalam perjalanannya, bulutangkis telah menyatu dengan Indonesia, telah menjadi Indonesia. Kemenangan bulutangkis adalah kemenangan Indonesia, kekalahan bulutangkis adalah juga kekalahan Indonesia. Jika ada pemain atau regu Indonesia berjaya, orang menyambut dengan kegembiraan yang meluap dan jika kalah, seakan hati ini tersayat sembilu, sedih. Maka bagi Indonesia bulutangkis bukan hanya urusan orang-orang PBSI, tetapi juga urusan walikota, bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden. Bertolak ke luar negeri tanpa resmi negara rasanya kurang srek, demikian juga jika sukses tanpa diterima kepala negara, seakan sayur tanpa garam.

Dalam perjalanan yang demikian itu, bulutangkis juga telah menjadi alat persatuan bangsa. Semua orang bersatu jika bicara bulutangkis, apalagi jika menang. Tentu tidak seluruh perjalanan prestasi diwarnai dengan kegembiraan atau kemenangan. Beberapa bagian dari perjalanan itu bahkan sebuah kesedihan. Pemain andalan yang gagal meraih sukses – kadang-kadang dicerca – tim yang terpuruk, atau peristiwa yang “gelap” menjadi warna perjalanan itu. Tahun 1967 muncul “Peristiwa Scheele” di Istora Senayan, tahun 1970 ada “Peristiwa Bangkok”. Peristiwa-peristiwa itu tidak hanya muncul di lapangan pertandingan, juga di arena organisasi. Meski tidak semeriah pertarungan di dunia politik, adu kuat di arena organisasi bulutangkis ini pun seru, terutama yang mengerucut pada pemilihan ketua umum organisasi nasionalnya, PBSI. Pertarungan untuk tingkat pusat ini kemudian juga diikuti – atau bahkan didahului – oleh hal serupa di bawahnya. Tidak jarang muncul dua kepengurusan untuk tingkat paling bawah organisasi, cabang. Pengurus cabang inilah memang memiliki suara dalam pemilu PBSI. Di arena organisasi yang lebih besar, regional dan dunia, juga muncul warna-warna “percekcokan” itu. Pernah muncul World Badminton Federation (WBF), disamping International Badminton Federation (IBF) yang kini menjadi satu-satunya organisasi internasional bulutangkis.

Perjalanan prestasi sendiri memang tidak seluruhnya menanjak. Ada masa-masa prestasi “memble”. Ada masa Indonesia merebut seluruh gelar kejuaraan dunia, tetapi ada juga masa tidak satu pun gelar dibawa pulang. Ada masa tiga gelar direbut di All England, sebaliknya ada masa tak seorang pun pemain Indonesia mencatatkan diri sebagai pemenang. Ada masa Rudy Hartono mengukir delapan kali gelar juara, Tjuntjun dan Johan Wahyudi yang enam kali gelar ganda, Liem Swie King dan Susy Susanti tiga gelar, namun ada juga yang hanya sanggup sekali – meski itu juga sebuah prestasi besar. Ada masa final sesama Indonesia di Olimpiade, di Kejuaraan Dunia, dan All England, serta kejuaraan-kejuaraan lain.

Sumber: Sejarah Bulutangkis Indonesia © PBSI 2004
Pengantar Hal. IX – XII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana pendapat kalian ?