Bulutangkis.com - Bulutangkis adalah
olahraga yang unik. Ia tidak sama dalam banyak hal dengan
olahraga-olahraga lainnya. Nama – kalau kita menggunakan nama aslinya,
badminton – misalnya berbeda dengan cabang-cabang lain. Kalau
cabang-cabang lain sedikit banyak menggambarkan bagaimana olahraga itu
dilakukan – sepak bola karena menyepak-nyepak bola, bola basket karena
memasukkan bola ke basket (keranjang), tennis meja karena melakukan
tennis diatas meja – maka badminton berasal dari nama tempat. Tepatnya
nama sebuah gedung atau bangunan. Beruntung bangsa Indonesia bisa
menemukan nama yang sesuai dengan olahraga itu: bulu tangkis, bulu yang
ditangkis-tangkis. Lihat juga peralatannya. Shuttlecock yang
dipakai sebagai “bola” terbuat sebagian dari hewan, tepatnya bulu-bulu
itik. Kini hampir tiada lagi olahraga yang menyandarkan diri pada
binatang untuk peralatannya. Sepak bola, dan juga cabang-cabang lain
yang memakai bola (besar), kini tidak memakai kulit binatang.
Bagi Indonesia, bulutangkis juga olahraga yang unik. Dia
satu-satunya cabang yang sudah memasukkan nama Indonesia dalam peta
medali emas Olimpiade, para pemainnyasudah mempersaembahkan medali emas
pesta olahraga empat tahunan itu. Dia juga satu-satunya olahraga yang
bisa membawa bangsa Indonesia ke tingkat tertinggi di dunia. Lihatlah
belasan gelar tingkat dunia diraih, baik perseorangan maupun beregu.
Rekor-rekor atas nama putra Indonesia juga diukir. Rudy Hartono menjadi
satu-satunya pemain didunia yang bisa delapan kali merebut gelar juara
All England, kejuaraan yang biasa disebut sebagai arena tingkat dunia
tidak resmi. Para pemain putra Indonesia mencatat sejarah dengan
mengantungi Piala Thomas lima kali berturut-turut. Dikejuaraan beregu
putra ini Indonesia juga paling banyak menjadi putra – 13 kali –
sementara Cina dan Malaysia (termaksud ketika masih bernama Malaya)
masing-masing lima kali.
Para pemain putri memang tidak seperkasa pemain putra, tetapi
mereka juga mengukir prestasi fenomenal. Susy Susanti, misalnya, adalah
atlet pertama Indonesia yang merebut medali emas. Pada hari Selasa 4
Agustus 1992 di Barcelona dia mengalahkan Bang So-hyun dari Korea
Selatan untuk merebut medali emas pertama Olimpiade bagi Indonesia –
belasan jam kemudian diikuti pacar yang kini menjadi suaminya, Alan
Budikusuma.
Selain pencapaian prestasi tinggi tersebut, banyak yang bisa dicatat
dari pelajaran bulutangkis Indonesia. Misalnya tentang masuknya
bulutangkis ke Indonesia. Siapa yang membawa, dari mana, dimana dan
kapan masuknya, masih menjadi tanda tanya. Meski ada perkiraan tahun
1920-an, tetapi tidak ada satu bukti tertulis pun yang bisa ditengok.
Tim penulis buku ini sudah berbagai penjuru Tanah Air untuk mencari hal
tersebut dan tidak menemukan satu bukti pun yang bisa mengantar bahwa
bulutangkis pertama kali dimainkan di kota A pada tahun B. Orang-orang
yang sudah berumur diatas 80 tahun pun yang ditemui tidak bisa bercerita
jelas tentang itu. Mereka hanya bisa mengatakan pada usia sekian dia
sudah menyaksikan bulutangkis dimainkan di kotanya.
Boleh jadi tahun 1920-an adalah awal masuk dan kemudian dimainkannya
bulutangkis di Indonesia, meski surat kabar – surat kabar zaman itu
tidak pernah memuat berita tentang “badminton” tersebut. Baru tahun
1930-an bulutangkis mewabah. Iklan-iklan disurat kabar menawarkan raket
dan shuttlecock. Surat kabar juga mulai memberitakan pertandingan antara
satu kota dengan kota lain, antara satu perkumpulan dengan perkumpulan
lain, atau hasil suatu kejuaraan dalam rangka suatu pasar malam. Tahun
1920-an yang mendominasi berita olahraga (waktu itu masih dipakai
“sport”) adalah voetbal (sepakbola), boksen (tinju), dan atletik, ditambah dengan renang, atau balap kuda. Tidak sekalipun tertulis kata “badminton”.
Medan dan Pematangsiantar di Sumatera Utara dan Palembang di
Sumatera Selatan dan Jakarta boleh jadi kota-kota pertama yang memainkan
bulutangkis. Hubungan perdagangan yang rapat dengan Penang (bagi Medan
dan Pematangsiantar) dan Singapura (bagi Palembang dan Jakarta),
menjadikan sering terjadinya kontak orang per orang, dengan salah satu
akibatnya terjadi pertukaran hobi atau permainan yang mereka lakukan.
Para pedagang tampaknya yang memulai permainan ini di Indonesia. Mereka
juga menyebarkannya. Di Majenang, Jawa Tengah, pedagang asal
Tasikmalaya, Jawa Barat, malam sebelum pagi harinya berjualan pada hari
pasaran “kota” itu, biasa bermain bulutangkis. Kebiasaan bermain
bulutangkis ini kemudian menular ke kota itu.
Itu tentu pada sebagian besar perkembangan di Indonesia. Ada satu
cerita menarik dari Makassar. Menurut tokoh masyarakat dan olahraga kota
itu, Andi Matalatta, bulutangkis masuk ke kota dari Sawahlunto,
Sumatera Barat, dibawa oleh para pelajar yang menuntut ilmu agama di
kota tambang batu bara tertua itu. Mereka yang mula-mula memaikan di
Makassar dan kemudian diikuti yang lain-lain.
Bulutangkis kini sudah menjadi olahraga rakyat dan negara. Tiada
peristiwa bulutangkis yang tidak melibatkan kalangan pemerintahan,
misalnya. Sukses mengantar bulutangkis juga bisa menjadi ukuran sukses
tidaknya ditempat lain – pemerintahan maksudnya, baik sipil maupun
militer. Orang yang memimpin PBSI juga seketika terkenal, sedikitnya
lebih terkenal dibanding jika tidak menduduki jabatan di PBSI.
Seakan-akan orang tersebut terangkat namanya jika menjadi pemimpin PBSI.
Apalagi jika pada masanya muncul prestasi-prestasi fenomenal.
Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sendiri berdiri jauh
setelah olahraga ini masuk Indonesia. Kalau masuk tahun 1920-an, maka
organ isasi nasional baru berdiri tahun 1951, sekitar 30 tahun setelah
masuknya ke Indonesia atau enam tahun setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan. Jauh berbeda dengan berdirinya Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Lawn Tenis Indonesia (Pelti)
yang tahun 1930-an. Kedua organisasi itu – terutama PSSI – menjadi salah
satu ajang perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan. Mereka
bertarung di arena itu dengan para pemain yang di bawah organisasi
penjajah Belanda.
Memang ada organisasi yang menaugi bulutangkis, yaitu KORI, tetapi
bukan organisasi khusus bulutangkis. Komite Olahraga Republik Indonesia
ini menaugi banyak cabang olahraga dan badminton – sebelum berganti nama
menjadi bulutangkis – menjadi salah satu bagiannya. Meski begitu, di
organisasi yang mulanya dimunculkan saat Jepang menjajah Indonesia ini,
badminton mendapat nama baru, bulutangkis. Ini berawal dari keharusan
orang Indonesia untuk tidak menggunakan bahasa Belanda atau Inggris,
yang ketika berperang dengan Jepang, dalam segala hal. Maka ketika
disadari bahwa badminton berasal dari kata “asing” dicarilah padanan
kata Indonesianya. Muncullah kata bulutangkis, bulu yang
ditangkis-tangkis. Jangan mencari lebih jauh tentang makna itu. Yang
penting itu nama Indonesia, sama dengan sepak bola, yang aslinya football.
Seperti football, yang artinya harfiahnya bola kaki, maka kata
bulutangkis juga sama dengan sepak bola, memiliki arti terbatas dilihat
dari kata-katanya tetapi memiliki arti yang lebih luas dari segi
istilah. Cabang olahraga ini tidak hanya menangkis shuttlecock tetapi
juga memukul, menepak, “menghajar”-nya. Apa istilah yang tepat jika
pemain “mensmes” shuttlecock atau kok itu? Sama juga dengan sepak bola
yang tidak hanya menyepak, tetapi juga menyundul atau menendang?
Dalam perjalanannya, bulutangkis telah menyatu dengan Indonesia,
telah menjadi Indonesia. Kemenangan bulutangkis adalah kemenangan
Indonesia, kekalahan bulutangkis adalah juga kekalahan Indonesia. Jika
ada pemain atau regu Indonesia berjaya, orang menyambut dengan
kegembiraan yang meluap dan jika kalah, seakan hati ini tersayat
sembilu, sedih. Maka bagi Indonesia bulutangkis bukan hanya urusan
orang-orang PBSI, tetapi juga urusan walikota, bupati, gubernur,
menteri, bahkan presiden. Bertolak ke luar negeri tanpa resmi negara
rasanya kurang srek, demikian juga jika sukses tanpa diterima kepala
negara, seakan sayur tanpa garam.
Dalam perjalanan yang demikian itu, bulutangkis juga telah menjadi
alat persatuan bangsa. Semua orang bersatu jika bicara bulutangkis,
apalagi jika menang. Tentu tidak seluruh perjalanan prestasi diwarnai
dengan kegembiraan atau kemenangan. Beberapa bagian dari perjalanan itu
bahkan sebuah kesedihan. Pemain andalan yang gagal meraih sukses –
kadang-kadang dicerca – tim yang terpuruk, atau peristiwa yang “gelap”
menjadi warna perjalanan itu. Tahun 1967 muncul “Peristiwa Scheele” di
Istora Senayan, tahun 1970 ada “Peristiwa Bangkok”. Peristiwa-peristiwa
itu tidak hanya muncul di lapangan pertandingan, juga di arena
organisasi. Meski tidak semeriah pertarungan di dunia politik, adu kuat
di arena organisasi bulutangkis ini pun seru, terutama yang mengerucut
pada pemilihan ketua umum organisasi nasionalnya, PBSI. Pertarungan
untuk tingkat pusat ini kemudian juga diikuti – atau bahkan didahului –
oleh hal serupa di bawahnya. Tidak jarang muncul dua kepengurusan untuk
tingkat paling bawah organisasi, cabang. Pengurus cabang inilah memang
memiliki suara dalam pemilu PBSI. Di arena organisasi yang lebih besar,
regional dan dunia, juga muncul warna-warna “percekcokan” itu. Pernah
muncul World Badminton Federation (WBF), disamping International
Badminton Federation (IBF) yang kini menjadi satu-satunya organisasi
internasional bulutangkis.
Perjalanan prestasi sendiri memang tidak seluruhnya menanjak. Ada
masa-masa prestasi “memble”. Ada masa Indonesia merebut seluruh gelar
kejuaraan dunia, tetapi ada juga masa tidak satu pun gelar dibawa
pulang. Ada masa tiga gelar direbut di All England, sebaliknya ada masa
tak seorang pun pemain Indonesia mencatatkan diri sebagai pemenang. Ada
masa Rudy Hartono mengukir delapan kali gelar juara, Tjuntjun dan Johan
Wahyudi yang enam kali gelar ganda, Liem Swie King dan Susy Susanti tiga
gelar, namun ada juga yang hanya sanggup sekali – meski itu juga sebuah
prestasi besar. Ada masa final sesama Indonesia di Olimpiade, di
Kejuaraan Dunia, dan All England, serta kejuaraan-kejuaraan lain.
Sumber: Sejarah Bulutangkis Indonesia © PBSI 2004
Pengantar Hal. IX – XII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagaimana pendapat kalian ?