tulisan berjalan

SELAMAT DATANG di akun media sosial racketbadminton.blogspot.co.id

Jumat, Mei 01, 2015

Bapak Bulutangkis Tiongkok Asal Solo


Mengapa pemain-pemain bulutangkis Tiongkok atau China begitu trengginas? Putra dan putri? Tunggal dan ganda? Bibit-bibit unggul tak pernah habis? Sementara kita, Indonesia, makin kesulitan menemukan bibit-bibit unggul setelah surutnya generasi emas Alan Budikusumah, Susi Susanti, Ardy Wiranata, Lius Pongoh, kemudian Taufik Hidayat?

Jawabannya ini: Gara-gara orang Solo!

Dialah WANG WENJIAO, pelatih badminton bertangan dingin yang lahir di Kota Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Pak Wang ini mendapat gelar The Father of China’s Badminton. Bapaknya bulutangkis negeri Tiongkok!

Kebanyakan orang Indonesia, bahkan pengurus olahraga, kurang mengetahui asal-muasal badminton disosialisasikan di Tiongkok. Namun, sejak 1980-an, ketika Tiongkok menggebrak dengan pemain-pemain bintangnya, dunia pun terperanjat. Lalu, sejumlah pengamat bulutangkis mancanegara, salah satunya Dev S. Sukumar, berusaha mencari tahu apa gerangan resep di balik kesuksesan Tiongkok dalam pembinaan bulutangkisnya.

Pada 1950-an Wang Wenjiao sudah dikenal sebagai pebulutangkis muda berbakat di Indonesia. Namun, suasana di Republik Indonesia yang baru berusia sembilan tahun, meminjam istilah kepolisian, saat itu sangat tidak kondusif. Pergolakaan di mana-mana. Revolusi fisik masih berlanjut. Politik kian memanas menjelang pemilihan umum. Cari uang susah.

Bagi warga Tionghoa, ada masalah serius soal kewarganegaraan. Maka, banyak huaqiao atau overseas Chinese memilih kembali ke negara leluhur: Republik Rakyat Tiongkok yang baru diproklamasikan oleh Mao Zedong (baca: Mao Tse-tung) pada 1 Oktober 1949. Padahal, mereka pun tak tahu bagaimana nasib mereka di negara yang sebenarnya masih kacau-balau oleh perang saudara itu. Hidup itu ibarat perjudian. Siapa tahu nasib baik di Zhongguo (baca: Cungkuo, nama resmi Tiongkok alias China).

Nah, Wang Wenjiao ikut dalam rombongan perjudian nasib ke Tiongkok. Pada 1954, ketika masih berusia 21 tahun, Wan Wenjiao berangkat ke Tiongkok. Tak lupa membawa berbagai peralatan untuk bermain bulutangkis. “Saya sendiri belajar main bulutangkis di Solo,” katanya.

Bersama tiga temannya yang juga penggila bulutangkis, Wang Wenjiao perlahan-lahan memperkenalkan olahraga raket itu.

“Waktu itu tidak ada orang Tiongkok yang tahu badminton atau bulutangkis. Saya dan teman-teman harus keliling seluruh Tiongkok untuk demonstrasi. Memperlihatkan kepada masyarakat, khususnya anak-anak muda, begini lho caranya main bulutangkis. Akhirnya, pelan-pelan bulutangkis mulai dikenal dan makin lama makin populer,” ujar pelatih yang menghasilkan pemain-pemain hebat seperti Han Jian, Luan Jin, Tian Bingyi, dan Li Yongbo itu.

Tiongkok yang dikuasai rezim Partai Komunis saat itu masih sangat tertutup. Namun, Ketua Mao sangat berambisi membawa Tiongkok menjadi negara yang terkenal di seluruh dunia. Salah satunya lewat olahraga. Termasuk bulutangkis. Karena itu, Wang Wenjiao difasilitasi negara untuk menyemaikan bibit-bibit ke seluruh Tiongkok. Wang diminta membangun sistem pembinaan, teknik main, hingga mencetak bocah-bocah cilik menjadi pemain bintang di usia emasnya. Bapak Wang ini pun diangkat sebagai pelatih nasional Tiongkok.

Sejak awal Wang Wenjiao sangat menekankan satu aspek penting: SPEED. Kecepatan!

Dia merancang sistem pelatihan yang sangat menekankan SPEED. Ketika pemain punya teknik atau skill yang seimbang, maka kecepatanlah yang akan membedakan. Pemain yang punya SPEED-lah yang bakal menang.

“Saya memaksa semua murid saya, putra atau putri, kalau kalian ingin menjadi juara dunia, kalian harus bisa main CEPAT dan KUAT. Skill sedang-sedang saja tidak apa-apa,” kata Wang Wenjiao  beberapa waktu lalu.

Kutipan dalam bahasa Inggris ini lebih jelas menggambarkan filosofi permain bulutangkis Tiongkok yang ditanamkan secara sistematis oleh Wang Wenjiao:

“The main thing was SPEED. I developed a system which was compulsory throughout China. If someone wanted to become a coach, they had to learn my syllabus for three months. The government backed us. We had a lot of  players, and we rewarded them well. That’s why we were able to excel.”

Tidak gampang menemukan remaja yang punya bakat SPEED dan STRONG. Apalagi di Tiongkok bagian utara yang sama sekali tidak mengenal bulutangkis hingga 1970-an. Olahraga yang sangat populer justru sepak bola. Maka, Wang meminta salah satu asistennya untuk melihat anak-anak yang berlatih sepak bola. Siapa yang punya kecepatan diajak mengikuti badminton training camp. Nah, di lapangan sepak bola itulah ditemukan bibit unggul bernama HAN JIAN.

“Waktu main bola, Han Jian itu punya kecepatan luar biasa. Gerakan kakinya, footwork, juga luar biasa. Yah, kami ambil dan latih dia main bulu tangkis. Han Jian itu sebetulnya tidak punya skill dan pertahanan yang baik. Tapi dia punya SPEED, footwork, dan kuat. Itu yang saya butuhkan,” papar Wang.

Siapa tak kenal Han Jian?

Dialah pemain bintang yang menggoncang jagat badminton pada 1980-an. Dimotori Han Jian, tim nasional Tiongkok pertama kali merebut Piala Thomas pada 1982.

Saat itu Han Jian merontokkan Liem Swie King (Indonesia) dengan 15-12, 11-15, dan 17-14. Setelah Rudy Hartono kalah melawan Luan Jin pada partai pertama, pertandingan Han Jian vs Liem Swie King di London pada 21 Mei 1982 ini disebut-sebut sebagai pertandingan bulu tangkis terdahsyat di ajang Piala Thomas. Sebab, kualitas kedua pemain bintang ini sangat berimbang.

Dominasi Tiongkok makin terasa di ajang Kejuaraan Dunia tahun 1985. Peta bulutangkis pun berubah total. Orang mulai ngeh bahwa ancaman dari pemain-pemain negara tirai bambu itu tidak main-main.

Sebelumnya, pemain-pemain bintang generasi pertama Tiongkok pun sudah sangat disegani, tapi tidak mendapat kesempatan tampil di turnamen atau kejuaraan bergengsi sekaliber Piala Thomas dan All England. Mereka antara lain Hou Chia Chang, Fang Kai Hsiang, Tang Hsien-hu (alias Tong Sinfu), yang nota bene juga kelahiran Indonesia.

Saat itu bulutangkis dunia dikuasai Denmark, Indonesia, dan Malaysia. Tiongkok belum boleh ikut berbagai kejuaraan karena tidak masuk organisasi bulutangkis dunia. Barulah tahun 1977, ketika Tiongkok bergabung, dunia mulai tercengang melihat hasil penggemblengan Wang Wenjiao yang menekankan SPEED & STRONG itu tadi.

Dalam lawatan pertama ke Denmark, Wang dan kawan-kawan sempat dicemooh di televisi setempat. “Apakah orang Tiongkok bisa main bulutangkis? Kok mereka datang ke Denmark untuk melawan Erland Kops?” sindir warga setempat. Asal tahu saja, Erland Kops itu juara All England enam kali.

Wang hanya tertawa pahit menyaksikan cemoohan itu. Esoknya, apa yang terjadi? “Pemain kami mengalahkan Erland Kops dengan skor 15-0 pada game pertama,”  Wang mengenang.

Posisi Wang sebagai pelatih nasional kemudian diambil alih Hou Chia Chang, Tang Hsien-hu, dan sekarang Li Yongbo. Sistem pelatihan sudah berubah, apalagi ada perubahan sistem scoring dari 15 poin ke 21 poin.

Dan, justru dengan sistem mutakhir, 21 angka rally point, filosofi SPEED & POWER yang dirintis oleh Wang di Tiongkok makin diperlukan. “Saya justru mendorong pelatih-pelatih Tiongkok untuk pergi ke berbagai negara untuk menyebarkan filosofi saya,” katanya.

Sumber: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana pendapat kalian ?