SUMBER Bulutangkis.com - Juara Sejati Tidak
Memilh Lawan. Demikian kalimat indah dan elegan di atas tampil di
sebuah media online yang rutin saya buka setiap hari dan mungkin juga di
berbagai media lainnya. Sebuah pernyataan lugas menanggapi hasil
kontroversial pertandingan round robin antara pasangan Indonesia Greysia
Polii/Meiliana Jauhari melawan pasangan Korea peringkat 3 dunia Ha Jung
Eun/Kim Min Jung.
Yang akhirnya berbuntut diskualifikasi bagi Greysia Polii/Meiliana
Jauhari dan Ha Jung Eun/Kim Min Jung plus 2 pasangan lainnya, Yu
Yang/Wang Xiaoli dari China dan Kim Ha Na/Jung Kyung Eun juga dari
Korea.
Opini tersebut muncul dari seorang Susi Susanti, legenda putri
bulutangkis dunia. Bukannya keliru, namun tidak tepat jika
diaktualisasikan dengan kondisi perbulutangkisan dalam negeri kita
khususnya pada dekade ini.
Juara sejati yang tidak memilih lawan saat bertanding, menurut
penilaian penulis tidak bisa disamaratakan bagi semua atlet atau suatu
tim. Buat seorang Susi yang pernah menjadi pebulutangkis nomor satu
dunia, mungkin tidak menjadi soal siapa pun musuh yg akan dihadapi.
Namun menjadi berbeda jika sudah menyangkut masalah teknik, prestasi dan
peluang bagi seorang pemain dimana para pemain kita dihampir semua
nomor saat ini, belum mampu menyamai prestasi calon lawan yang
sedianya dihadapi.
Jadi hemat penulis, wajar saja jika strategi memilah dan memilih
lawan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari. Apalagi diajang
olimpiade, dimana tuntutan harapan demikian tinggi dan kebanggaan
personal bagi si atelt menjadi salah satu faktor yang membuat streategi
menjadi salah satu upaya meraih asa yang dikalungkan.
Saya jadi teringat, ketika dulu Indonesia harus mengalah kepada
China pada babak kualifikasi Thomas Cup 1992 agar terhindar dari
Malaysia di Semifinal. Bukan karena kekuatan Malaysia lebih di atas
Indonesia. Tapi karena faktor ''tuan rumah'' yang memungkinkan menjadi
kendala non teknis buat tim kita, sehingga akhirnya, Ricky Subagja yang
merupakan pemain spesialis ganda putra, harus naik menjadi tunggal ke 3
tim.
Lalu di perebutan Piala Uber 1994 dimana saat itu Susi yang menjadi
motor tim harus diistirahatkan sementara di perempatfinal. Saat itu pun
pelatih dan manager kita dihadapkan pada pilihan antara Korea atau
China yang sama kuat dengan berbagai hitungan dan pertimbangan. Artinya
kita tetap harus memilih peluang yang diperkirakan memiliki kans bagi
tim kita untuk bisa lolos kepertandingan berikutnya. Maka untuk menjaga
performa tim di semifinal, maka pelatih memilih menurunkan pemain
pelapis menghadapi Denmark.
Apakah strategi memikirkan “memilah” lawan saat itu juga dianggap bukan tindakan juara sejati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bagaimana pendapat kalian ?