tulisan berjalan

SELAMAT DATANG di akun media sosial racketbadminton.blogspot.co.id

Rabu, Agustus 15, 2012

Memilih Lawan Mengapa Tidak

SUMBER Bulutangkis.com - Juara Sejati Tidak Memilh Lawan. Demikian kalimat indah dan elegan di atas tampil di sebuah media online yang rutin saya buka setiap hari dan mungkin juga di berbagai media lainnya. Sebuah pernyataan lugas menanggapi hasil kontroversial pertandingan round robin antara pasangan Indonesia Greysia Polii/Meiliana Jauhari melawan pasangan Korea peringkat 3 dunia Ha Jung Eun/Kim Min Jung.

Yang akhirnya berbuntut diskualifikasi bagi Greysia Polii/Meiliana Jauhari dan Ha Jung Eun/Kim Min Jung plus 2 pasangan lainnya, Yu Yang/Wang Xiaoli dari China dan Kim Ha Na/Jung Kyung Eun juga dari Korea.

Opini tersebut muncul dari seorang Susi Susanti, legenda putri bulutangkis dunia. Bukannya keliru, namun tidak tepat jika diaktualisasikan dengan kondisi perbulutangkisan dalam negeri kita khususnya pada dekade ini.

Juara sejati yang tidak memilih lawan saat bertanding, menurut penilaian penulis tidak bisa disamaratakan bagi semua atlet atau suatu tim. Buat seorang Susi yang pernah menjadi pebulutangkis nomor satu dunia, mungkin tidak menjadi soal siapa pun musuh yg akan dihadapi. Namun menjadi berbeda jika sudah menyangkut masalah teknik, prestasi dan peluang bagi seorang pemain dimana para pemain kita dihampir semua nomor saat ini, belum mampu menyamai prestasi calon lawan yang sedianya dihadapi.

Jadi hemat penulis, wajar saja jika strategi memilah dan memilih lawan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari. Apalagi diajang olimpiade, dimana tuntutan harapan demikian tinggi dan kebanggaan personal bagi si atelt menjadi salah satu faktor yang membuat streategi menjadi salah satu upaya meraih asa yang dikalungkan.

Saya jadi teringat, ketika dulu Indonesia harus mengalah kepada China pada babak kualifikasi Thomas Cup 1992 agar terhindar dari Malaysia di Semifinal. Bukan karena kekuatan Malaysia lebih di atas Indonesia. Tapi karena faktor ''tuan rumah'' yang memungkinkan menjadi kendala non teknis buat tim kita, sehingga akhirnya, Ricky Subagja yang merupakan pemain spesialis ganda putra, harus naik menjadi tunggal ke 3 tim.

Lalu di perebutan Piala Uber 1994 dimana saat itu Susi yang menjadi motor tim harus diistirahatkan sementara di perempatfinal. Saat itu pun pelatih dan manager kita dihadapkan pada pilihan antara Korea atau China yang sama kuat dengan berbagai hitungan dan pertimbangan. Artinya kita tetap harus memilih peluang yang diperkirakan memiliki kans bagi tim kita untuk bisa lolos kepertandingan berikutnya. Maka untuk menjaga performa tim di semifinal, maka pelatih memilih menurunkan pemain pelapis menghadapi Denmark.

Apakah strategi memikirkan “memilah” lawan saat itu juga dianggap bukan tindakan juara sejati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana pendapat kalian ?