Tak ada yang bakal menyangka, pemilik bengkel las di Jl. Pajenekang Makassar adalah mantan atlet nasional. Di masa kejayaannya dulu, Denny Thios berulang kali mengharumkan nama Indonesia di kancah kejuaraan angkat berat dunia. Denny tak kekar lagi. Kemeja kotak-kotak yang dikenakan justru nampak kebesaran di tubuh ringkihnya. Wajahnya makin tirus dimakan usia. "Kalau atlet lama tak latihan, ya memang seperti ini. Badan seolah mengecil kembali," ujar Denny saat ditemui di balik pagar rumahnya, beberapa waktu lalu. Saya agak kesulitan menemukan rumahnya yang senantiasa tertutup. Kendati sudah diberi clue "bengkel las" oleh seorang kenalan dadakan di facebook, jalanan sempit di seberang Masjid raya itu cukup membingungkan. Berbekal tanya kepada tukang las lain di jalan yang sama, saya menemukan rumah atlet yang kini seolah terlupakan. Akh ya, saya harus nebeng kendaraan dengan teman dari media lain. Besi berkarat sesak bertebaran balik pagar rumah berlantai dua itu. Kata Denny, bengkel las dan bubut sederhana peninggalan ayahnya itu sengaja dibiarkan selalu tertutup. Pelanggan tetap biasanya cuma orang-orang yang sekilas mengenal Denny. "Mau dibangun juga tak seberapa. Ini bengkel sudah tua. Cuma teman-teman saja yang biasanya kerja barang (besi) disini," ujarnya sembari mengutak-atik mesin chainshaw yang ada di depannya. Kami pun hanya bisa duduk pasrah di depannya, tergusur sesak dengan beberapa barang bekas dan alat bubut. Ada empat anjing juga yang berjaga di antara tumpukan besi itu. Ia pun larut dengan obrolan ringan mengulas kisah kejayaannya di dekade 90-an. Denny mengaku mulai menekuni dunia angkat berat di tahun 1980-an. Itu atas saran seorang pelatih bernama Nuryadi saat ia tekun mengolah tubuh di tempat fitness. "Dulu saya suka bela diri karate. Namanya anak muda, supaya otot besar, saya ikut fitness," ceritanya. Dengan bimbingan Nuryadi, bersama mantan juara dunia di Jerman, Charlie de Thios, ia mulai menjuarai banyak kejuaraan nasional. "Kebetulan, Charlie de Thios adalah om saya. Beliau adiknya bapak. Saya banyak belajar dari beliau," imbuh lelaki yang digelari The Best Lifter oleh Persatuan Angkat Besi dan Berat Seluruh Indonesia (PABBSI), 1990 silam. Karir Denny Thios mulai melejit di kala ia sukses memecahkan tiga rekor sekaligus dalam Kejuaraan Angkat Berat Dunia di Taiwan (1990). Berlanjut dengan segala prestasi dan medali emas yang ditorehkannya di kancah lainnya, baik ajang PON maupun Kejurnas di tanah air. Kendati demikian, paruh 1992, ia diterpa masalah dalam tubuh PABBSI Sulsel. Lantaran merasa terlunta-lunta sebagai atlet di kampung sendiri, ia berhijrah ke Surabaya, Jawa Timur. Menurutnya, hidupnya lebih terjamin disana. "Di Sulsel, bagaimana pun prestasi kita, sangat sulit dihargai. Apalagi olahraga seperti angkat berat yang nota bene jarang dikenal masyarakat. Makanya saya memilih memperkuat Jatim di PON XIII itu," kenang lelaki yang profilnya pernah diabadikan di Majalah Power Lifting yang diterbitkan negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Bahkan, jika kini nama Denny Thios di-googling, masih ada sisa-sisa kejayaannya di daftar luar negeri itu. Denny Thios bersama alat-alat di kediamannya. (Foto : Tawakal - Harian FAJAR) Sayang, kehidupannya hanya berjalan setahun di Jawa Timur. Setelah mempersembahkan medali emas di PON dan Kejuaraan Angkat Berat di Swedia, ia memutuskan pensiun dan kembali ke kampung halamannya. Suami dari Diana ini mengaku lelah menjalani profesinya sebagai atlet. "Saya pernah dipanggil kembali untuk membina atlet sambil bantu-bantu, tapi saya menolak. Soalnya, atlet yang mau dibina juga tidak ada, bisa dihitung jari," bebernya. Olahraha angkat berat dianggap tak dilirik sama sekali oleh KONI maupun pemerintah provinsi. Ia pesimis dengan kiprah angkat besi dan berat Sulsel. Tak ada pembinaan dari daerah. Sementara menurutnya, atlet terbaik angkat berat biasanya dipupuk dari daerah yang mayoritas pekerjaannya hidup dari bertani. "Coba saja pengurus lebih serius, cari atlet dari daerah," usulnya. Di penghujung kiprahnya sebagai atlet itulah, ia mulai menekuni usaha bengkel las peninggalan ayahnya. Meski penghasilan tak tentu, asalkan bisa makan dan hidup, itu sudah cukup baginya. Hidupnya tak lagi dicekoki dengan bidang olahraga yang justru tak dihargai pemerintah. Di Sulsel pun, atlet angkat berat yang lolos PON XIX pun tak begitu dilirik dan sekadar dianggap non-prioritas. Denny kini hanya menyimpan tiga medali emas sisa kejuaraan dunia dan foto-foto kenangan masa kejayaannya. Beberapa sertifikat yang sudah diplastikkannya juga jadi kenangan manis. Masih ada raut bangga dan antusias saat ia menunjukkannya pada kami. Bahkan, salah satu artikel koran yang memuat permasalahannya di tubuh PABBSI Sulsel tak dipedulikannya. "Dulu, saya pernah begini.... Ini waktu saya di Swedia,......" sisa-sisa bukti yang membawa kami untuk mengulas kenangannya. Seiring tenggelamnya nama sang pencetak rekor dunia ini, ia perlahan mengubur impiannya untuk kembali mengharumkan nama Indonesia. (*) *** PRESTASI: #Tahun 1989: Medali Perak di PON XII #Tahun 1990: Medali emas dalam Kejuaraan Angkat Berat Asia di Taiwan. Ia sekaligus memecahkan 3 rekor dunia. #Tahun 1990: Medali perunggu dalam Kejuaraan Angkat Berat Dunia di Belanda. #Tahun 1990: Atlit angkat berat (lifter) terbaik (The best lifter) dalam kejuaraan angkat berat nasional PABBSI kategori senior. #Tahun 1991: Tiga medali emas dalam Kejuaraan Angkat Nerat Nasional PABBSI kategori senior di Yogyakarta. #Tahun 1992: Medali emas dalam Kejuaraan Angkat Berat Dunia di Brimingham, Inggris #Tahun 1992: Lifter terbaik pra-PON XIII di Semarang, Jawa Tengah #Tahun 1993: Medali emas Kejuaraan Angkat Berat Dunia di Swedia
sumber :
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/imamr/dulu-atlet-dunia-sekarang-tukang-las_568f9c456323bd310cfd39df