Masa keemasannya yang berlangsung
cukup panjang, berpuncak pada juara tunggal putri bulutangkis
Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia peraih emas pertama
Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya, juga juara
di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka sebagai
“Pengantin Olimpiade”. Predikat pengantin ini rupanya terus
melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade
Athena 2004.
Prestasi yang mengharumkan nama bangsa
juga diukir oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan. Dia
menjuarai All England empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang
juara yang punya semangat pantang menyerah ini selalu menjadi
ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara dunia
(1993) dan puluhan gelar seri grand prix.
Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga
bulutangkis Indonesia memang luar biasa. Dalam setiap
pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan terlihat tanpa
emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang pantang
menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat
banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.
Berkat kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya,
Jawa Barat, 11 Februari 1971 ini turut menyumbang sukses tahun
1989 ketika Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama
kalinya dan sampai sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut
menorehkan sukses saat merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996
setelah piala itu absen lama dari Indonesia.
Semenjak SD, Susi sudah suka bermain
bulutangkis. Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung dan
memberinya kebebasan untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah
menang kejuaraan junior, ia pindah dari Tasikmalaya ke Jakarta.
Meski saat itu ia masih duduk di bangku 2 SMP, ia sudah mulai
berpikir untuk serius di dunia bulutangkis.
Kegiatan Susi berbeda dengan remaja lain
karena ia tinggal di asrama dan bersekolah di sekolah khusus
untuk atlit. Ia mengaku menjadi kuper karena hanya berteman
dengan sesama atlit. Bahkan pacaran pun dengan atlit.
Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat
padat. Enam hari dalam seminggu, Senin – Sabtu dari jam 7
sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7
malam. Makan, jam tidur, dan pakaian juga ada aturannya
tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak
tinggi agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke
mal pun hanya bisa dilakukannya pada hari Minggu. Itu pun jarang
karena ia sudah terlalu capek latihan.
Memang tidak ada pilihan lain, ia harus
disiplin dan berkonsentrasi untuk menjadi juara. Ia akhirnya
menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang perlu perjuangan
dan pengorbanan. “Kalau mau santai dan senang-senang terus,
mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis
tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya
ada hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.
Ketika masih menjadi pemain, Susi
berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para pemain
lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih atau di
luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan semangat
pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. “Saya hanya
berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya,” kata
Susi.
Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil.
Sepeninggal Susi (dan Mia Audina), sektor putri bulutangkis
Indonesia mandek. Piala Uber semakin jauh dan puncaknya, tidak
satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos ke Olimpiade
Athena 2004.
Susi yang telah mundur mengakui
merosotnya prestasi karena memang kekurangan bibit pemain unggul.
“Kita bisa saja memberi prasayarat pemain untuk berhasil, tetapi
kalau bibitnya tidak ada bagaimana?” Susi melihat popularitas
bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui
kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.
. .
Merasa Sedih
Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang
antusias oleh masyarakat. Ia mengingat betapa antusiasnya masyarakat
menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England. Susi melihat
hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini
lebih ke hiburan. Belum lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat
terlarang, seperti shabu dan narkotika. Masyarakat juga lebih banyak
membaca, mendengar, menyaksikan berita kekalahan pebulutangkis
Indonesia lewat media massa.
Itu tentu berbeda dengan era
Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B Wiranata cs yang
banjir mahkota juara.
Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga
Indonesia karena tidak jelasnya jaminan akan masa depan. Susi
sendiri sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun ke
dunia olahraga mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak
rekannya yang pernah menjadi juara SEA Games, Asian Games, namun
hidupnya terkatung-katung.
Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya
sekolah yang terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak
mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi sendiri
terpaksa mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun
menghadapi banyak halangan sebab ada pihak-pihak dari
organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia berprestasi namun
kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat pengalaman bahwa
bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya.
Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain
diberikan dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan
masa depan atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari
pemerintah, bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan
karena mereka akan memilih jalur pendidikan. “Saya harap PBSI dan
KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus,
hasilnya akan seperti sekarang ini,” ujarnya.
Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya kesadaran dari
keluarga masing-masing yang ingin
anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah ingin memajukan
olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina
dari daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil.
Mereka hanya terima jadi saja. Ia beranggapan, semua orangtua
saat ini akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya
menjadi atlet.
Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam
organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu
yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi
dan Alan dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal
ini menunjukkan sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI
yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang
terlibat di PBSI (Persatuan Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah
orang yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan, bukan
untuk kepentingan pribadi.
Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit,
Susi belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar
me-manage keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan
hadiah seperti bonus, ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam
bentuk tanah, rumah atau tabungan. Ia tahu bahwa prestasi
olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada di atas.
Kedua orang tuanya pun sering berpesan
agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga banyak
mendapat masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang
dulu merupakan pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar
mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat berprestasi sebisa
mungkin.
Mulai dari Nol
Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol
lagi. Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis,
Susi masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang
akan ia jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali
mencoba berbagai jalan untuk menghidupi keluarga mulai dari
jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan di sebuah instansi,
belajar menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan Malaysia) dan
menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua menjadi bukti bahwa
bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai
lagi dari nol.
Untunglah, Susi dan Alan mendapat
dukungan dari orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi sedikit
mereka belajar menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar
satu setengah tahun, mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai
keyakinan membuat usaha sendiri.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh
tiga orang anak, anak pertama perempuan bernama Lourencia
Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah lelaki;
Albertus Edward dan Sebastianus Frederick, Susi juga ingin ikut
membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin
mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.
Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC
Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama D&V dari nama kedua
anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju dari Cina,
Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.
Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih
penghargaan tertinggi bulutangkis dari International Badminton
Federation (IBF) ‘Hall of Fame’ 2004 ini tetap peduli dengan
dunia yang pernah membesarkannya ini. Bersama suaminya, Alan
Budi Kusuma – peraih medali emas Olimpiade 1992 pula – ia
mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung
pusat pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain
yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia.
Selain itu, pada pertengahan tahun 2002,
Susi dan Alan membuat raket dengan merek sendiri yaitu Astec,
Alan-Susi Technology. Meski pabriknya ada di Taiwan, tetapi
senar yang digunakan adalah senar Jepang. Cara pembuatan dan
sebagainya, dikontrol oleh mereka sendiri. Pada awalnya mereka
mencoba produknya ke teman-teman mereka untuk mencari tahu produk
mana yang paling bisa diterima. Baru setelah itu, produk dipasarkan.
Saat yang tak terlupakan bagi Susi adalah
saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade yang pertama bagi
Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992) bersama Alan
Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan yang paling
mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin dari Sarwendah
(Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.
Kini pasangan yang menikah pada 9
Februari 1997 ini tinggal di rumah mereka nan tenang di Gading
Kirana Timur I Blok B2 No. 28, Komplek Gading Kirana, Jakarta
Utara. Di komplek perumahan ini Susi dan Alan masih rutin main
bulutangkis. ► e-ti/atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Langganan Juara setelah Tangan Dipegang Nenek Misterius
Turnamen bulutangkis All England meninggalkan kesan mendalam bagi
Susi Susanti. Bagi peraih emas tunggal wanita Olimpiade Barcelona itu,
All England sangat berarti dalam perjalanan karirnya.
Karir bulutangkis Susi Susanti berhenti sejak 1997, bertepatan dengan
kehamilan anak pertama. Nama Susi kembali beredar setelah PB PBSI
menunjuknya menjadi manajer Tim Uber Indonesia.
Semasa menjadi pemain, sosok Susi sangat melegenda di peta persaingan
tunggal wanita. Seabrek gelar dikoleksi istri Alan Budikusuma tersebut.
Di turnamen All England, Susi empat kali tampil di podium juara tungal
wanita edisi 1990, 1991, 1993, dan 1994.
”Dalam dua tahun pertama keikutsertaan saya di All England, ada kisah
yang tak bisa dilupakan hingga saat ini,” kenang ibu tiga anak itu.
Pada 1988, kali pertama Susi mengikuti All England. Sayang, dalam
kiprah perdana di turnamen bulutangkis tertua tersebut, dia belum
berhasil menuai gelar juara. ”Saya sedih dan menangis waktu itu. Lantas,
saya lari ke gereja terdekat yang kebetulan sedang menggelar komuni,”
beber wanita kelahiran Tasikmalaya, 11 Februari 1971 tersebut.
Biasanya dalam acara tersebut, masing-masing pendoa, termasuk Susi,
hanya dijatah satu roti dari pendeta yang memimpin komuni. Namun, entah
kenapa Susi mendapatkan dua roti sekaligus. ”Saya juga kaget, biasanya
hanya diberi satu-satu. Tetapi, kok waktu itu saya dapat dua. Kalau
sudah menerima, harus dimakan, tidak boleh dikembalikan,” tutur pencetak
enam kali juara final Grand Prix itu.
Tak dinyana, setahun kemudian, Susi kembali lagi ke All England.
Meski belum menuai predikat juara, Susi mampu melaju ke final dan
dikandaskan andalan Tiongkok Li Lingwei. Nah, pada 1989 itu, Susi
memiliki cerita menarik. Dia bertemu dengan wanita lanjut usia sesaat
setelah kontingen Indonesia tiba di London.
Kala itu, pertandingan masih dihelat di Wembley Arena, London.
”Kebetulan, kami bertiga, Koh Tong (Tong Sin Fu, pelatih Indonesia),
Sarwendah, dan saya cari makan di McDonald’s yang lokasinya dekat dengan
hotel,” ucap Susi memulai cerita.
Rasa lapar sangat mengganggu karena cuaca bersalju dan dingin sekali.
Usai makan dan kembali ke hotel, mereka dicegat seorang nenek yang
menanti belas kasihan di pinggir jalan. Tong pun meminta anak asuhnya
itu untuk memberikan uang receh kepada nenek tersebut. Namun, nenek itu
tak mau menerima lebih dari 1 pounsdterling.
”Saya ingin sekali memberinya 5 pounsdterling. Dia nggak mau terima.
Eh, tangan saya dipegang. Saya kaget dan ada rasa takut juga. Kok, nenek
itu tangannya hangat, padahal salju mulai turun dan dingin sekali,”
bebernya.
Rasa kaget itu membuat Susi lebih ingin memperhatikan raut muka sang
nenek. Dia tak peduli meski rekan-rekannya telah meninggalkannya dan
kembali ke hotel. Entah kenapa, Susi ingin meneteskan air mata karena
terharu. Dia pun berlari ke hotel untuk mencari Alan Budikusuma yang
sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun.
Dengan tersengal-sengal, Susi menyampaikan keinginan agar Alan mau
mendatangi nenek misterius tersebut dan memberikan lebih banyak uang.
Sayang, usaha Alan sia-sia. Sesampainya di tempat itu, Alan tak lagi
menemukan nenek tersebut. ”Mungkin orang lain menganggap itu hal biasa.
Tetapi setelah itu, tangan saya benar-benar membuahkan prestasi,”
akunya.
Semua itu, lanjut dia, berkah sang pencipta yang memberikan kekuatan
kepadanya untuk menorehkan sejarah indah bagi Indonesia. Kenangan di
lapangan tentu lebih indah. ”Wembley Arena sangat megah. Penontonnya
sangat santun dalam memberikan support,” ujarnya.
Sayang, setelah penampilan terakhirnya di All England pada 1997, Susi
tak lagi sempat menengok turnamen tertua itu. ”Sudah kenyang dulu ke
sana, sekarang membayangkan naik pesawatnya saja sudah malas,” katanya. (aww)