Tong Sin Fu, Pelatih Cina Yang Disia-siakan Indonesia
Kekalahan Indonesia secara terus menerus di dunia Bulu
Tangkis mungkin salah satu penyebabnya adalah karma untuk Indonesia
kepada sang pria tua renta yang dulu mengharumkan nama Indonesia di
tahun 90an, ketika beliau melatih pemain-pemain Indonesia. Dan kabarnya
beliau juga merupakan pemain yang hebat di tahun zamanny rudi hartono
namun dia tidak terlalu aktif bermain bulu tangkis. Kali ini dia
membuktikan andilnya, China berhasil memenangkan Thomas Cup, inilah
salah satu mutiara bangsa ini yang tersiakan !!!.
PRIA renta itu hampir selalu berada di tepi lapangan setiap kali Lin
Dan tampil pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Kepalanya terbungkus
topi dan sebuah tas diselempangkan di pundak. Lin Dan, pebulu tangkis
tunggal pria andalan Tiongkok, selalu menoleh ke arah pria renta itu
setiap kali lawan berhasil menerobos pertahanannya. Menunggu instruksi.
Lin Dan, yang sejatinya hanya diunggulkan di peringkat kelima, akhirnya
berhasil menjadi juara dunia di Gachibowli Indoor Stadium, Hyderabad,
10-16 Agustus lalu. Keberhasilannya, antara lain, berkat instruksi pria
tua yang tak lain adalah Tong Sin Fu, pelatih tim nasional (timnas)
Tiongkok.
Itu adalah gelar juara dunia ketiga bagi pemain
berjuluk Super Dan tersebut, setelah memenanginya pada 2006 dan 2007.
Di partai final, Tong tak tampak di pinggir lapangan lagi. Alasannya,
mungkin, partai tersebut mempertemukan sesama pemain Tiongkok, Lin Dan v
Chen Jin.
Tong
adalah sosok yang sangat berjasa bagi kemajuan bulu tangkis di negeri
terpadat di dunia itu. Sentuhan magisnya membuat Tiongkok menjadi
raksasa bulu tangkis di era modern ini. Para pemain Tiongkok, dalam
beberapa tahun terakhir, memang bermain dengan kemampuan jauh di atas
pemain mana pun. Tak heran, pada kejuaraan di India itu timnas Tiongkok
hanya kehilangan gelar ganda campuran. Empat nomor lain dikuasai pemain
Tiongkok. Bahkan, tiga partai final berlangsung antarpemain Tiongkok.
Sebaliknya, Indonesia terpuruk. Nova Widianto/Liliyana Natsir,
satu-satunya wakil di final kerjuaraan itu,dikalahkan duet Denmark,
Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl.
Melatih pemain Tiongkok,
kata Tong, tidak terlalu susah. Sebab, mereka sangat berbakat. ''Di
Tiongkok, para pemandu bakat telah menyediakan pemain-pemain bagus.
Kami, para pelatih, tinggal memoles,'' katanya dengan bahasa Indonesia
yang masih fasih.
Tong memang lahir dan besar di Indonesia. Tepatnya di Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942.
''Di Tiongkok, nama saya sering disebut Tang Xianhu atau Tang Hsien Hu,
bergantung dialek daerah masing-masing. Tapi, orang tua saya memberi
nama Tong Sin Fu,'' paparnya kala ditemui di sela Kejuaraan Dunia Bulu
Tangkis 2009. Ketika masih menangani timnas Indonesia, dia punya nama
Fuad Nurhadi.
Tak kurang dari tiga puluh tahun dia menjadi
pelatih bulu tangkis. Kepelatihannya berawal pada akhir 1979, saat dia
mulai gantung raket. Selama enam tahun Tong memoles para pemain wanita
Tiongkok. Di antaranya Li Lingwei dan Han Aiping. Dua pebulu tangkis
andalan Tiongkok di era 1980-an.
Kemudian pada 1986 Tong
melatih di Indonesia. Awalnya, dia tidak menangani pemain Pelatnas
Cipayung. Dia melatih di klub Pelita Jaya milik Aburizal Bakrie dan DWI JAYA(berganti nama MATTHEW JAYA "skarang"). Ketika
itu dia dikontrak USD 750 per bulan. Setelah itu Tong ditarik untuk
menangani pebulu tangkis yang ditempa di Pelatnas Cipayung.
Ketika itu sejumlah pemain legendaris nasional masih di pelatnas.
Seperti Liem Swie King di masa-masa akhirnya, Icuk Sugiarto, dan Hastomo
Arbi. Kemudian, dia ikut membidani lahirnya para pemain generasi emas,
seperti Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi.
Bahkan, Tong mengantarkan Alan meraih medali emas bulu tangkis di
Olimpiade Barcelona 1992. Waktu itu Susi Susanti juga berhasil meraih
emas sehingga dijuluki pengantin emas. ''Para pemain Indonesia saat itu
memang berbeda dengan yang ada sekarang,'' katanya.
''Secara
kualitas mereka lebih baik. Selain itu, saya lihat mereka punya
semangat dan kemauan keras untuk menjadi juara,'' lanjut pria 68 tahun
itu. ''Filosofi saya sebagai pelatih adalah bukan pelatih yang harus
pandai, melainkan pemain sendiri. Tugas pelatih hanya membantu,''
sambungnya. Pemain terakhir Indonesia yang ditangani adalah Hendrawan
yang juga sempat menyabet juara dunia.
Pada 1998 dia memutuskan
kembali ke Tiongkok setelah permohonannya menjadi warga negara
Indonesia (WNI) ditolak. ''Kenapa itu (penolakan menjadi WNI, Red)
diungkit-ungkit lagi. Itu sudah cerita lama,'' kata pria yang kini
menetap di Fuzhou tersebut. ''Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian
untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata,''
katanya.
Dia hanya terdiam ketika ditanya apakah masih ingin
menjadi WNI. ''Saya cukup bahagia dengan posisi saya saat ini. Kalau
toh bisa menjadi WNI, sekarang usia saya sudah lanjut,'' kata suami Li
Qing itu, sembari sesekali membenarkan letak topinya.
Meski
begitu, dia belum tahu kapan akan pensiun sebagai pelatih. ''Saya
menikmati peran saya sekarang. Selama saya masih kuat, saya akan terus
melatih. Sebab, di usia ini kalau tidak ada kegiatan, malah tidak
enak,'' paparnya.
Di Tiongkok, Tong tak langsung melatih tim
nasional, melainkan menjadi pelatih tim bulu tangkis Provinsi Fujian.
Tak lama kemudian, dia melatih timnas Negeri Panda itu. Pada Olimpiade
Sydney 2000, dia harus melihat anak didiknya, Xia Xuanze, menyerah di
tangan Hendrawan yang pernah dilatihnya.
Namun, Hendrawan
hanya meraih perak di Olimpiade itu setelah di final dikalahkan Ji
Xinpeng, pemain lain Tiongkok. Salah satu keberhasilan Hendrawan saat
itu berkat arahan Tong Sin Fu. Sebaliknya, keberhasilan Ji Xinpeng
mengalahkan Hendrawan -yang kini melatih tim Malaysia- juga berkat
sentuhan Tong Sin Fu.
Setelah itu Tong ikut membidani lahirnya
para pebulu tangkis andalan Tiongkok saat ini. Misalnya, Lin Dan, Chen
Jin, Bao Chunlai, dan ganda pria Cai Yun/Fu Haifeng. Nama-nama inilah
yang beberapa tahun terakhir mendominasi peta persaingan bulu tangkis
dunia. Bahkan, selain mengantarkan Lin Dan hat-trick juara dunia, dia
berhasil mengantar Super Dan meraih medali emas Olimpiade Beijing tahun
lalu.
Tong merupakan salah satu pemain junior Indonesia
terbaik di era 1950-an. Pada 1960, dia pergi ke Tiongkok bersama
rekannya, Hou Chia Chang, asal Surabaya. ''Saya meninggalkan Indonesia
untuk melanjutkan studi sambil bermain bulu tangkis,'' tutur bapak dua
anak itu.
Dia meninggalkan orang tua dan tiga saudaranya, yang saat itu tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta.
Di Tiongkok karir bulu tangkis Tong Sin Fu melesat. Hanya dalam lima
tahun dia sudah menjadi juara nasional. Gelar itu dikuasai sampai 1975.
Hou Chia Cang juga berhasil. Mereka berdua dijuluki Raksasa Tiongkok
karena keperkasaannya.
Sayang, ketika itu pemerintah Tiongkok
tak mengizinkan atlet-atletnya mengikuti turnamen di Eropa atau di
negara-negara yang tak sepaham. Akibatnya, nama mereka berdua tidak
begitu dikenal secara internasional. Tapi, pers Barat yang mengendus
keberadaan mereka menganggapnya sebagai kekuatan tersembunyi.
Tong hanya tampil di Ganefo (Games of The New Emerging Forces) 1963 dan 1966. Dia menjadi juara tunggal pria.
Pada 1976, ketika rezim komunis Tiongkok mulai terbuka dan mengizinkan
atlet-atletnya bermain di luar negeri, Tong dan Hou mulai menunjukkan
kemampuan. Bahkan, di sebuah laga ekshibisi, Tong berhasil menggilas
pe*main terbaik Eropa saat itu, Erland Kops, dengan skor sangat telak,
15-0, 15-0. Oleh pers Barat, Tong dijuluki The Thing.
Ketika
itu dominasi tunggal pria dunia di tangan Rudy Hartono yang berhasil
menjuarai All-England delapan kali. Tapi, Tong maupun Hou tidak sempat
ditarungkan dengan jagoan Indonesia itu.
Mereka pernah bertemu
Iie Sumirat dalam sebuah even antarpemain Asia di Bangkok pada 1976.
Iie Sumirat berhasil memecundangi keduanya. Saat dikalahkan Iie
Sumirat, usianya sudah 34 tahun. Tak lama kemudian, dia memutuskan
gantung raket, dan menjadi pelatih.
Tong mengaku, meski sudah
tak tinggal dan melatih di Indonesia, dia terus memperhatikan
perkembangan bulu tangkis di negeri kelahirannya ini. Dia tak menampik,
saat ini prestasi bulu tangkis nasional memang tak sebaik di era-era
sebelumnya. Tapi, dia yakin, Indonesia kembali bangkit. ''Hanya masalah
waktu menunggu bulu tangkis Indonesia berkibar kembali,'' ucapnya.
Dia mengaku masih punya banyak sanak-saudara di Indonesia. Sesekali dia
pulang ke Indonesia. Kedua anaknya -dia tidak mau menyebutkan namanya-
juga dilahirkan di Indonesia. Tong adalah contoh mutiara berharga yang
disia-siakan.